Dua hari di Bandung, akhirnya semalam Nyi Iteng (saya maksudnya) piknik ke Paris van Java Mall. Melihat dari dekat bagaimana kehidupan berdenyut di bawah gemerlap lampu malam, di sebuah pojokan jalan Sukajadi Bandung. Down town walk-nya yang menawan meniru jalan-jalan tua di kota Paris, Eropa sana. Setiap pindah ruang di sambut musik yang menghentak. Endorphine dalam tubuh Nyi Iteng yang gak setahun sekali jalan-jalan ke mall jadi bergejolak. Jejeran toko dan cafe yang menjadi roh tempat itu, tertata apik penuh selera. Saya kira ini adalah pembangunan citra yang bagus, penuh imajinasi, dan dirancang secara psikologis. Membawa orang melupakan atau meninggalkan sejenak kehidupan sesungguhnya di luar sana.
Piknik ke Paris van Java membuat saya menyadari sesuatu. Iya ini adalah surga belanja. Dirancang bagi dompet kalangan menengah atas. Tempat piknik dan hiburan sekaligus. Dan itu sudah berhasil memenuhi separo dari misi mall terbesar di Bandung ini. Pengunjung dengan gaya yang sebagian besar menunjukkan kelas sosial mereka, riuh rendah menunjukkan mengisi lorong-lorong mall dengan gaya masing-masing. Harga bukan masalah terlalu besar bagi mereka.
Tapi ada yang kurang pas menurut saya. Ini seperti tipikal pengunjung mall Indonesia secara umum, pergi ke mall dengan tujuan utama piknik, jajan dan makan-makan. Buktinya sebagian besar toko mewah itu terlihat sepi. Para pramuniaga hanya capek mengangguk-angguk hormat di depan toko. Mempersilahkan pengunjung masuk yang kebanyakan hanya dijawab dengan melengos saja. Orang hanya berkerumun di town walk dan tempat makan.
Piknik ke Paris van Java dengan Dress Code
Saya sudah lama tidak membuka majalah fashion wanita. Namun piknik ke Paris van Java ini seperti nonton fashion show di catwalk luas. Iya di sini tempat yang tepat untuk mengamati trend dan gaya busana wanita terkini. Celana pendek yang mengekspose hampir seluruh batang kaki, blus minimalis dan sepatu plat form. Emang modelnya beda-beda. Tapi gayanya secara umum demikian. Itu membuat saya berpikir bahwa para wanita muda itu seperti janjian dari rumah. Dress code mereka terasa sangat milenialnya.
Saya perhatikan merokok di kalangan remaja sekarang merupakan hal yang biasa. Begitu pula perokok lintas gender. Di jaman saya, jaman kuda susah dapat makan kecuali besi, perempuan menyembunyikan kebisaan merokoknya dari pandangan umum. Tapi tadi malam saya menemukan banyak sekali kebalikannya. Kok tiba2 saya jadi rewel pada hidup orang lain? Mungkin terlalu lama meninggalkankan mal dan sibuk mengurus diri sendiri sehingga melewatkan banyak perubahan yang berlangsung di luar. ” Mama gagap sosial”kata Adit.
Ada banyak cara memahami mengapa Allah tidak mengabulkan semua doa umatnya. Saya pikir semalam saya menemukan salah satu diantaranya. Piknik ke Paris van Java , untuk pertama kali membuat saya bersyukur tidak memiliki anak perempuan. Satu. Membesarkan anak perempuan dalam serbuan mall seperti di Bandung ini jelas membutuhkan modal gede. Dua. Walau menganggap diri cukup liberal ternyata tidak sebegitu liberalnya jika harus mengijinkan anak gadis sendiri jalan2 dengan pakaian minim, seakan berada di kamarnya sendiri. Tiga. Jalan sambil berpelukan erat dengan lawan jenis di tempat umum, membuat pemandangan di ruang privat lebih horor lagi di kepala saya.
Pendidikan adalah bagaimana seseorang menelan prasangka untuk diri sendiri. Dan saya cukup terdidik. Bahwa cara berpakaian seseorang tidak menunjukkan kualitasnya. Tapi jika punya anak gadis, akan tetap berperang melawan cara berbusana minimalis seperti di atas. Tak masalah bagaimana MTV mengajari cara orang berpakaian. Ini adalah soal prinsip, bukan soal pendidikan.