It’s hard to beat a person who never gives up. – Babe Ruth
Pagi2 dapat telepon dari teman bocah saya semasa tinggal di Kramat Sentiong dulu. Risna (bukan nama sebenarnya) pamit mau berangkat umroh dengan keluarga serta tiga orang karyawannya besok. Dia mohon dimaafkan segala salah, khilaf baik yang disengaja maupun yang tidak. Tahu diri bahwa aku bukanlah sahabat yang baik jadi cepat2 minta maaf juga. Sambil tak lupa cari keuntungan, minta didoakan agar akupun menyusul jejaknya kelak.
Sisa pagi kemudian kami habiskan dengan bernostalgia. Mengenang apa saja yang pernah kami lakukan bersama sewaktu SMP. Bagaimana kami dulu patungan naik becak dari rumah di Pulo Gundul menuju SMPN 2 di Mardani Raya. Mengenang kerimbunan batang sengon di Johar Baru. Kadang kalau uangnya tak cukup atau ditabung untuk beli buku, kami jalan kaki dengan mengambil rute pintas lewat kuburan kawi-kawi. Aku terkikik dan tak mengerti jalan pikiran saat itu ketika Risna mengingatkan bahwa kami pernah mencuri bunga ziarah dari atas sebuah kuburan pada suatu siang saat hendak berangkat sekolah. Ingat benar bunga-bunga itu masih segar. Baru saja ditingglkan sebuah keluarga yang menziarahi makam anggota keluarga tercinta mereka. Kelopak bunga mawar merah, putih, dan kenanga yang berkilau dibawah sinar matahari kami preteli satu persatu. Sebagian disisipkan ke dalam buku dan sebagian lainnya masuk kantong. Maksudnya agar buku dan baju kami jadi wangi.
Saat tergelak-gelak itu, secercah kedamain menyelusup ke dadaku. Begitu damainya serasa hidup berhenti sejenak. Kalau saja kami berdekatan aku pasti membagi perasaan dengan memeluknya. Terutama kala memikirkan suara Risna yang amat ringan dan bahagia. Ketika kuungkapkan perasaan tersebut lama juga Risna terdiam. Sepertinya dia menahan napas di seberang sana. Mataku sendiri sudah berkabut.
Hampir tiga puluh dua tahun persahabatan kami, entah beberapa kali dia dan aku juga menangis bareng- bareng seperti ini. Ketika kena marah orang tua, ketika dicurangi orang, saat merasa disisihkan guru yang pilih kasih, dan banyak lagi. Dan tangisan yang paling kukenang adalah saat kami lulus SMP. Aku mendaftar ke SMA dan dia tidak.
Namun tangisan kami pagi ini seperti pertemuan sepasang kekasih lama di sebuah lorong misterius dalam kota. Penuh kelegaan karena masa-masa sulit telah berlalu, tiba waktunya merajut masa depan. Tangisan seperti itu bergabung dengan jutaan tangis serupa dari umat manusia lainnya yang menolak ditaklukkan nasib. Dab sudah berlangsung sejak ribuan tahun.Bunyi tangis itu hening dan bersih.