Sedang bertanya dalam hati, aku ini nyentrik atau berpikir positif?
Pasalnya seorang teman mengatakan bahwa tambah lama saya tambah nyentrik. Sekarang suka pilih-pilih teman.
Terhenyak tentu mendengar ini. Sampai bulak-baik nengok kaca, meneliti taucoan di wajah, kerutan di bawah mata dan uban di kepala. Ya Allah beri ampunan jika tanda-tanda uzur ini bukannya membuat saya lebih baik tapi malah tambah jelek. Kalau begini emang nyentrik rasanya karena saya mulai menangis dalam hati.
Memang sih saya mulai alergi berdekatan dengan para pengeluh. Gak deman mengakrabi si tukang gossip, negative thinker dan suka curiga. Apa lagi yang suka bermusuhan, uh jauh deh!
Cukup lama dekat di lingkungan seperti itu untuk mengetahui bahwa segala negativitas tak ada manfaatnya terhadap mutu kehidupan. Hidup ya gitu-gitu saja. Malah kalau terlalu lama ngobrol dengan mereka jadi capek sendiri.
Emang beda kok. Sekarang saya lebih suka berpikir positif.
Judul blog ini Jurnal Transformasi. Beberapa tahun ke muka saya sudah 50. Agar sehat lebih lama saya harus menaruh perhatian pada kesehatan. Biarin deh mereka tidak tahu bahwa ada hubungan erat antara emosi positif dengan kesehatan secara keseluruhan. Biarin mereka mengabaikan bahwa cara kita berpikir dan merasa memiliki korelasi yang pasti terhadap kesehatan. Kalau kita berpikiran buruk, emosi akan buruk dan pada akhirnya kesehatanpun ikut memburuk. Saya tambah yakin setelah membaca penelitian seorang Profesor terbaru di Duke University, bahwa mereka yang punya tingkat permusuhan tinggi terbukti mengarah pada peningkatan kerentanan terhadap penyakit koroner saat usia 50. Amit-amit deh saya gak mau jantungan! Saya memilih berpikir positif saja!
Masalahnya begini: Saya punya empati, ikut merasakan apa yang orang lain rasakan, jadi kalau ada berpikiran jelek, atau ngajak-ngajak agar berpikir serupa, apatis, putus asa saya pasti terpengaruh.Dan mereka yang suka membayangkan yang jelek-jelek apa lagi suka musuh-musuhan 4-7 kali lebih mungkin untuk punya masalah koroner di jantung. Karena rasa permusuhan menimbulkan stres pada emosi dan membangkitkan hormone yang minimbulkan rasa tidak bahagia. Ketimbang mengaitkan diri dengan stres, bukannya lebih baik menghindari segala kemungkinan yang membuat saya beremosi negatif? Ketimbang menambah jumlah orang stress Indonesia, bukannya lebih baik mencari pergaulan di sekitar orang-orang positif?
Perubahan Strategis
Kalau alasan itu yang membuat saya tepat dikatakan tua-tua nyentrik, apa boleh buat. Nyatanya sekarang saya memang suka menyaring isi pembicaraan orang. Memilah-milah menurut standar positif atau negatif. Saya lebih nyaman bergaul dengan mereka berpikiran positif. Mereka mungkin bukan orang-orang hebat, tapi berkomunikasi dengan mereka jauh lebih melegakan. Di sisi lain, sekelompok peneliti juga menemukan bahwa jumlah penyakit yang diderita menurun sebagai orang yang punya pikiran lebih positif. Bila “pikiran buruk” berkurang dan “pikiran yang baik” meningkat, secara keseluruhan kesehatan tampak membaik. Pokoknya gitu deh, kesehatan amat bergantung pada suasana hati. Nah mencegah penyakit kan selalu lebih murah dari mengobati, jadi saya bertekat untuk senantiasa positif.Salah satu usaha memang terpaksa menghindari orang-orang negatif.
Kalau Anda?