Seringkan dengar kalimat seperti ini : Berbahagia dan banyak tertawa maka Anda akan lebih sehat. Sebenarnya saran ini tidak salah tapi juga tidak terlalu betul. Sebab bila pernyataan ini diterima sebagai kebenaran 100% ujung-ujungnya akan menimbulkan perasaan bersalah bila suatu hari kita mendapat penyakit. Seolah-olah kita kurang membahagiakan diri, kurang tertawa makanya timbul berbagai macam penyakit.
Bahwa emosi mempengaruhi kesehatan juga tak bisa dipungkiri. Tapi untuk mendudukan persoalan sebenarnya kita perlu tahu bagaimana proses tersebut terjadi. Ini memang jarang dibahas sebab menyangkut kepakaran dalam bidang ilmiah dan ilmu kesehatan. Untuk menambah wawasan jurnal transformasi ini, saya menggali penjelasan dengan membaca ulang buku Emotional Intelligence yang terkenal karangan Daniel Goleman.
Tubuh Memiliki Daya Ingat
Goleman membuka masalah hubungan antara emosi dan kesehatan ini dengan membahas temuan Robert Arder, ahli psikologi yang menyatakan bahwa ada bagian lain dari tubuh makhluk hidup yang mampu menanggapi pengalaman lalu merubah perilakunya selain otak dan sistem syaraf pusat. Mereka adalah sistem kekebalan tubuh. Arder mendukung teorinya dengan percobaan melalui pemberian obat yang menekan jumlah sel T (sel kekebalan) pada beberapa tikus. Obat tersebut diminumkan dengan air yang dicampur sakarin. Setelah beberapa saat pemberian obat dihentikan dan tikus2 dikembalikan kondisi kesehatannya seperti semula. Setelah pulih kembali lalu tikus2 diberi sakarin lagi, namun kali ini tanpa obat yg menekan jumlah sel T. Walaupun tanpa obat ternyata jumlah sel T tikus tetap menurun dan untuk beberapa ekor menjadi sekarat dan kemudian mati.
Sistem Kekebalan Sebagai Otak Tubuh
Kemudian Goleman beralih pada Fransisco Varela, seorang ahli syaraf di Paris yang menyatakan bahwa sistem kekebalan tubuh adalah “otak tubuh”. Sistem ini gentayangan dan bersentuhan dengan setiap sel yang terdapat dalam tubuh. Sel-sel yang dikenali dibiarkan sementara yang mereka anggap asing akan di serang. Serangan inilah yang melindungi kita dari virus, bakteri maupun sel kanker. Kalau keliru mengidentifikasi, mereka menyerang sistem kekebalan itu sendiri yang menyebabkan penyakit auto imune seperti alergi, lupus dan rematik.
Keterhubungan Antara Pikiran dan Sistem Saraf
Sebelum penemuan Arder ini setiap ahli anatomi, dokter dan ahli biologi yakin bahwa otak (dengan perpanjangannya melalui seluruh sistem syaraf pusat) dan sistem kekebalan merupakan satuan terpisah. Mereka diyakini tidak saling mempengaruhi. Dianggap tidak ada lajur penghubung antara otak yang memantau pengecap tikus dengan wilayah sumsum tulang belakang yang memproduksi sel T. Namun penemuan Arder membalik keyakinan tersebut dan lahir lah psikoneuimunologi. Suatu ilmu penting dalam kedokteran yang mengakui ada hubungan antara ‘psiko’ atau ‘pikiran’ dengan ‘neuro’ (meliputi golongan sistem saraf dan sitem hormon), imunologi –-> sistem kekebalan.
Belum cukup, Coleman juga menghadirkan kelompok peneliti yang menemukan bahwa pesan kimia yang bekerja paling giat dalam otak dan sistem kekebalan, adalah mereka yang juga menempati paling banyak wilayah-wilayah saraf yang mengatur emosi. Orang yang bergiat disini adalah David Felten, temannya Arder, yang mengamati bahwa emosi mempengaruhi secara dahsyat saraf autonom kita.
Autonom itu adalah syaraf yang mengatur segalanya, mulai dari jumlah insulin yang dikeluarkan tubuh sampai pada tingginya tingkat tekanan darah. Bersama teamnya, Felten mendeteksi titik pertemuan antara sistem saraf autonom yang berhubungan dengan limfosit dan makrofagus, yaitu sel-sel sistem kekebalan. Dari bawah mikroskop elektron mereka melihat ujung terminal-terminal syaraf sistem autonom bersentuhan langsung dengan sistem kekebalan. Pada titik ini sel-sel syaraf kita melepaskan neurotransmiter-neurotransmiter untuk mengatur sistem kekebalan. Bahkan mereka saling berkomunikasi dengan saling memberi isyarat.
Ajaib dan revolusioner! Sebelum sebelum ini belum ada seorangpun yang menduga sel-sel kekebalan menjadi sasaran dari pesan-pesan yang dikirim oleh saraf. Pada tingkat percobaan lanjut pada hewan, Felten membuang beberapa saraf dari limpa dan simpul2 getah bening (tempat penyimpanan dan produksi sistem kekebalan) lalu memasukan virus ke tubuh hewan percobaan tersebut untuk menguji sistem kekebalannya. Dan betul, tanpa ujung2 saraf, sistem kekebalan tak bereaksi apapun terhadap serangan virus. Kesimpulan yg ditarik Felten disini : Sistem saraf bukan saja berhubungan dengan sistem kekebalan, tapi juga sangat penting agar sistem kekebalan bisa bekerja sempurna.
Stress dan Hormon
Ada lagi jalur penting lain yang menghubungkan emosi dengan sistem kekebalan yaitu lewat pengaruh hormon yang dilepaskan saat kita stress. Saat stress tubuh melepaskan katekolamin, kortisol, prolaktin serta candu alamiah seperti beta-endorfin dan enkefalin ke seluruh tubuh. Cukup rumit untuk diterangkan tapi ketika hormon ini menyebar di tubuh, fungsi utamanya adalah menghambat laju kinerja sel-sel kekebalan. Dengan kata lain stress menekan sistem perlawanan tubuh kita terhadap berbagai gangguan penyakit.
Dewasa ini semakin banyak saja ilmuwan dan ahli mikrobiologi menemukan hubungan antara otak (melalui cara berpikir), sistem kardiovaskular dan kekebalan.Jurnal-jurnal ilmiah yang mengabarkan seputar penelitian seperti ini juga semakin banyak diterbitkan.
Jadi kesimpulannya: Untuk tetap sehat, mempertahankan kesehatan dan menyembuhkan diri dari rasa sakit, memang tetap penting menjaga agar emosi kita tetap dalam kondisi positif.