Saya suka dimarahi anak-anak kalau bertanya segala sesuatu terlalu detail. Misalnya ketika mereka bercerita tentang teman yang menangis di sekolah petanyaan saya tidak hanya berakhir mengapa dia menangis, melainkan di tambah pernik-pernik:, ” Biasanya dia suka murung, gak? Dia akrab dengan siapa? Pernah gak dia cerita tentang keluarganya? Mamanya kerja apa di rumah?” And so on, and so on. Sekali dua kali pertanyaan dapat jawaban. Tapi kalau sudah masuk ke inti yang saya suka, eksplorasi kasus (hehehe) biasanya mereka jengkel dan menjawab ketus: “Ah Mama ini apa sih? Gak tahu, mama tanya saja sendiri! Atau Mama itu kayak wartawan!”
Saya tahu bahwa memiliki rasa ingin tahu bagus, tapi selalu berhati-hati menggunakannya dalam pergaulan sosial. Mengetahui apa yang tengah berlangsung dalam kehidupan orang lain memberi kita semacam prepektif terhadap hidup sendiri tapi ada batas-batas yang perlu di jaga. Sebaiknya hindari pertanyaan-pertanyaan yang masuk wilayah privasi. Toh seperti kata anak-anak saya, kita bukan wartawan infotainment yang berkewajiba mengorek-ngorek segala sesuatu yang ingin disembunyikan orang terhadap dunia luar.
Rasa ingin tahu tersebut sebaiknya digunakan seperti halnya Napoleon menggunakan bakatnya yang luar biasa untuk mengetahui segala sesuatu. Sesaat setelah kalah dalam perang Waterloo dan meletakan kekuasaan, pria ini membiarkan dirinya di tangkap oleh angkatan laut Amerika. Sesaat memasuki Rayal Navy matanya langsung jelalatan memandangi semua peralatan yang telah menyebabkan pasukannya kalah di Trafalgar. Seorang saksi mata menceritakan kemudian bahwa Napoleon tidak ragu-ragu bertanya kegunaan semua alat-alat canggih yang terdapat dalam kapal tersebut. Dia yang pernah mengangkat diri sendiri sebagai raja Perancis itu mungkin tidak bisa menggunakan pengetahuan yang didapatnya diatas Royal Navy tapi setidaknya Napoleon punya sudut pandang sendiri tentang peralatan apa saja yang telah digunakan untuk mengalahkannya.
Saya senang membaca buku-buku bersifat humanity dan sering menggunakan Google untuk memenuhi rasa ingin tahu terhadap sesuatu. Tapi disela-sela kegiatan tersebut suka muncul pertanyaan dalam hati untuk apa sih melakukan itu? Bukan lebih baik saya menua-nuakan diri mengikuti usia, beribadah lebih banyak seolah-olah akan mati besok seperti banyak yang dilakukan para orang tua lainnya di belahan dunia? Bukankah masa-masa eksplorasi saya sudah lewat? Setelah merenung sebentar, jauh di dalam hati sana seolah ada yang menjawab, seolah Einstein berdiri di depan dengan kata-katanya yang terkenal : ” The important thing is not to stop questioning. Curiosity has its own reason for existing “.
Baik lah! Saya terhibur. Mempersoalkan struktur realita dan merenung-renungkan misteri dari keabadian Tuhan, misalnya, mungkin tak bermanfaat sebagai ibu rumah tangga. Tapi cukup menghibur bahwa saya mengetahui hal-hal yang jarang dipikirkan oleh ibu rumah tangga kebanyakan. Pengetahuan itu juga bisa dipakai untuk melihat dengan jelas ada jarak antara rasa ingin tahu yang mencampuri urusan orang lain dengan holly curiosity yang dimaksudkan oleh Enstein. Petualangan kedalam rasa ingin juga membuat saya tahu bahwa amat mudah menjadi predator dari pengetahuan itu sendiri. Yang terakhir biasa disebut orang sebagai kesombongan.
Photo