Pulang kampung lagi menengok ibu. Dan tiap pulang kampung merasa perlu mampir ke rumah kerabat yang berlainan desa. Di rumah kerabat di mana saya juga banyak melewatkan masa kecil terdapat sebuah kolam ikan. Fungsi kolam ini tak hanya membesarkan ikan tapi juga melepas itik bermain seharian. Iya di kampung kami, arena main itik kalau tak di sawah ya di kolam. Tak pernah di kandang seharian seperti “bebek” masa kini.
Jadi sore itu saya ngobrol dengan kerabat di depan rumah, di tepi kolam ikan. Memperhatikan bagaimana kawanan itik menukikan kepala ke dalam air lalu muncul lagi sambil mengibas, mememercikan air yang terperangkap diantara bulu.
Kaok-kaok mereka khas, membuat suasana kampung muncul semua dari memori saya.
Ingat Bebek Cabe Hijau (itiak Lado Mudo) dan Bebek Goreng
Pulang dari kunjungan muhibah, saya berpikir tentang itik cabe hijau. Itiak lado mudo bahasa Minangnya. Kalau teman-teman piknik ke seputaran Ngari Sianok di Bukittinggi, di sana banyak warung penjual hidangan pedas dan enak ini. Masakan asli Koto Gadang yang keterkenalannya hanya dikalahkan Nasi Kapau.
Saya memperlihatkan foto bebek kepada Ibu. Terus Ibu langsung menebak keinginan putrinya, “Besok ibu bikinin pangek itiak lado mudo..”Â
Eh kok keterusan ngomongin makanan yah? Padahal saya maunya menulis tentang nasib saya yang berkelindan dengan para bebek.
Baca juga:
- 12 Makanan Khas Lombok yang Wajib Kamu Coba
- Keripik Pedas & Karupuak Lado
- Cabe, Warna Merah dan Adat Minangkabau
- Kuliner Khas Minang & Samba Lado Pado
Saya juga Ada Akhirnya
Saat memotret hewan yang sedang bergembira itu saya sempat berpikir. Apakah kawanan bebek itu  sadar bahwa suatu hari hidup mereka akan berakhir di dapur? Sebagai bebek cabe hijau, pangek itiak, rendang, kaleyo bebek, mie bebek atau bebek goreng?
Apakah terbersit satu ide dalam insting mereka bahwa apapun yang mereka lakukan saat ini ada akhirnya? Seperti bercumbu, bertelur, beranak dan mencari makan, pada akhirnya cuma memenuhi kebutuhan ekonomi dan rasa manusia?
Ah mungkin otak hewan berbulu dan bersayap itu terlalu kecil untuk dibebani pikiran abstrak.
Hanaya saja, apapun maksud Allah menciptakan bebek, dalam perspektif kemanusianku nasib bebek memang hanya sampai disitu: Dibesarkan untuk nanti disantap (dijual) oleh mereka yang membesarkannya.
Melihat ke Dalam Diriku
Terus aku berpaling pada hidup sendiri. Apakah nasibku sama dengan hewan yang hidup di kandang itu? Bahwa kehadiran di dunia ini hanya memenuhi sebuah misi? Yang kadang tak jelas apa tujuannya kecuali aku mengambil sikap?
Jawabnya pasti! Setiap yang bernyawa akan mati. Tapi dimana dan bagaimana akhirnya, masih jadi rahasia Tuhan.
Baca juga:Â Mengenal Diri Sendiri Lewat Kerja Otak
Yah sedikit berbeda dari bebek, kebebasan memilih tampaknya membuat nasibku sedikit lebih baik dari kawanan bebek. Tapi betulkan aku benar-benar punya pilihan? Think again! Jangan2 apa yg kusebut pilihan itu tak lebih dari sebuah garis yang telah di tetapkan oleh Sang Penguasa untuk kujalani?
Mikir lagi ah…