Malam sudah turun. Diluar hujan rintik-rintik. Tiba-tiba kangen pada Erich Fromm seorang Antropolog yang juga Psikolog yang banyak membahas permasalahan seks dan gender. Saya cari bukunya dari rak dan bertemu sebuah dengan Judul Cinta, Seksualitas, Matriarki dan Gender. Memandangi buku berdebu ini seperti bertemu kembali dengan kawan yang sudah lama tak bertegur sapa. Saya pernah tergila-gila pada Fromm dengan gaya bahasa menggigit, mengenalkan saya soal peperangan antar jenis kelamin. Dia menyebutnya perang gerilya, berlangsung selama 6000 tahun yang diakhiri dengan kemanangan laki-laki atas perempuan.
Dalam satu artikel Fromm membahas keterikatan emosi seorang anak terhadap ibunya. Bahwa kerinduan terhadap kasih ibu ini tak pernah meninggalkan umat manusia sampai akhirnya mereka kembali ke Ibu bumi. Bagi kita, ibu adalah kehidupan, kehangatan, makanan, kebahagiaan dan rasa aman. Hanya ibu yang mampu memberikan cinta tanpa syarat. Pengalaman dicintai bukan karena kita patuh, baik dan berguna, tapi semata-mata karena kita adalah anak ibu.
Fromm menajamkan analisa keterikan umat manusia terhadap figur ibu ini melalui karya Bachofen berupa penemuannya atas Hak Ibu. Menurut Bachofen perempuan sejak dimasa muda sudah belajar menebar cinta dan kasih sayang melampaui batas-batas ego yang mereka miliki. Lalu menggunakan kemampuan tersebut untuk melindungi dan memperbaiki eksistensi orang lain. Sifat keperempuan inilah yang menitis pada setiap kebudayaan, pada kebajikan, pada seluruh pemujaan, pada segenap perhatian terhadap kehidupan dan rasa duka cita terhadap kematian.
Cinta, perhatian dan tanggung jawab terhadap sesama adalah dunia ibu. Kasih ibu adalah benih yang tumbuh dari cinta dan kebersamaan. Dan inilah yang jadi dasar berkembangnya humanisme universal. Ibu mencintai anak-anaknya karena mereka adalah anak-anaknya, bukan karena mereka memiliki persyaratan khusus, kondisi, maupun mempunyai pengharapan khusus terhadap mereka. Ibu mencintai anak-anaknya tanpa pilih kasih dan anak-anaknya belajar melakukan hal serupa kepada ibunya.
Bachofen meneruskan analisanya bahwa ikatan paling promordial dan paling mendasar bagi umat manusia adalah ikatan terhadap ibu. Perkembangan kedewasaan amat bergantung pada kemampuan kita mendekati obsesi ini lalu melaju mendekati ayah sebagai figur sentral. Kemudian berkembang lagi lebih tinggi dan ikatan dengan ibu pun diperbarui. Sekarang kita tidak lagi terobesi pada sosok ibu sebagai individu, melainkan pada prinsip cinta dan kesetaraan.
Freud dengan pendirian patriakalnya memandang perempuan sebagai lelaki yang tak sempurna. Namun Bachofen memandang seorang ibu sebagai representasi kekuatan primer dari alam, realita dan juga cinta. Itu bukan karena daya tarik seksualnya tapi karena ibu menghadirkan ikatan yang sulit diatasi.
Amat menarik mengikuti jalan pikiran Fromm yang dikaitkan pada keseteraan gender ini. Bila diselami lebih dalam, terutama bila cadar patriakal dibuka sedikit, kita seperti terseret ke masa lalu, ketika perempuanlah yang menjadi pusat semesta, ketika anak-anak hanya mengenal ibu, ketika perempuan sebagai pusat ekonomi sebab hanya dia yang mampu beproduksi melalui anak-anak yang dilahirkannya. Ohya saya tidak peduli apakah teori Bachofen yang dilirik Fromm ini benar atau salah, saya lebih suka jadi penikmat dan memperoleh sebuah kedalaman disana. Kalaupun salah saya akan ikut From saja :” Bagaimanapun sejarah pemikiran adalah sejarah dari kesalahan..”