Karena satu-satunya feminim, tiga macho-isĀ di rumah terpaksa mengangkut saya kemanapun mereka mengisi waktu luang. Kemarin mereka nonton pameran Indocomtech 2011, mau tak mau sayapun jadi ikutan hanyut bersama ribuan orang lain mengamati perangkat terkini dari PC, tablet, ponsel pintar,camera dan notebook yang dijual dari ecek-ecek sampai tercanggih dan dari harga termurah sampai termahal itu.
Tapi saya lebih tertarik mengamati ribuan orang yang lalu lalang memadatiĀ Hall A, Hall B, Cendrawasih, Main Lobby, dan Plenary Hall dari JCC. Takjub cuma satu-satunya ungkapan yang saya temukan. Sebab selama mengikuti pameran (makanan), belum pernah melihat pengunjung demikian melimpah ruah sepertiĀ kemarin yang bertepatan pula dengan hari penutupan pameran. Disini tampak semua orang punya kepentingan. Mulai dari kanak-kanak sampai kakek-nenek menyatu dan tak ada yang keberatan membayar tiket masukĀ Rp. 15.000/orang
Nonton pameran dagang harus bayar tapi pengunjungnya masih mbludak? Kok bisa sih?
Saya pikir ini bukan karena EO-nya pandai dalam memasarkan event ini. Tidak pula gara-gara penyelenggara mengiklannya lebih banyak di media massa sehingga semua orang tahu ada pameran teknologi informasi di Senayan lalu datang berduyun-duyun.
Pameran ini sukes meraup pengunjung maupun target omset sebesar Rp. 625 milyar tak lebih karena bertemunya supply-demand secara sempurna. Itu berkat pendudukĀ Indonesia yangĀ amat terbuka terhadap ide-ide baru. Pun dibidang teknologi informasi, kecintaan pada smartphone seperti blackberry dan android menemukan titik orgasme berkat forepaly denganĀ facebook dan Twitter. Maka kebutuhan pokok pun bergeser setelah beras jadi pulsa. Kalau sudah begini titik aneh pun menguap. Cuma yang patut disayangkan hanyalah kegilaan terhadap benda-benda komunikasi ini lebih banyak ke unsur hiburan ketimbang kegiatan produktif.