Saya percaya tanah dan air Indonesia ini kaya. Sebaliknya saya juga percaya Indonesia bangsa yang miskin. Tapi saya amat tak percaya bila ada yang menyebut bahwa orang Indonesia malas.
Ungkapan bahwa Indonesia bangsa pemalas sering terbaca dan terdengar dalam berbagai kesempatan. Kalau rajin nonton film-film dengan setting jaman penjajahan ungkapan ini bertebaran di mana-mana. ” God verdom zeg jij inlander pemalas!” Ungkapan yang datang dari bule penjajah sih gak aneh. Mereka kan bangsat, pencuri kekayaan kita, jadi harus berdalih agar penindasan tersebut memang pantas dilakukan. Tapi kalau datang dari bangsa sendiri, itu cerita lain.
Suatu ketika saya pernah meradang sebab emang paling sebel mendengar kesoktahuan orang soal bangsa pemalas. Hanya karena miskin terus di labeli malas? Eh elu kali yang asal nyablak! Entah bagaimana mereka memandang isi dunia ini, dalam kehidupan sehari-hari saya melihat kekurangan secara ekonomi tidak identik dengan kemalasan. Nenek saya berhenti ke sawah, mencari kayu bakar dan memasak di dapur setelah badannya tak kuat lagi meninggalkan tempat tidur. Ibu saya dalam sakitnya masih memimpikan pasar bahwa jika balik sehat akan kembali berdagang di sana. Bapak saya seorang lelaki pelaju yang gigih, berangkat pagi-pulang petang. Walau sekarang telah berhenti mencari uang untuk keluarga namun masih menyibukan diri beternak kala membantu ibu di rumah.
Terus coba perhatikan perhentian lampu-lampu merah, ketika jalanan macet, tak kah melihat mulai dari bapak-bapak sampai kanak-kanak berebut menawarkan dagangan? Mulai dari air minum kemasan sampai kain lap pel ada di tangan mereka. Melihat bagaimana legamnya kulit terbakar matahari, lelahnya wajah mereka demi keuntungan yang pasti cuma dikisaran ratusan atau seribuan rupiah, apakah pantas mereka disebut pemalas?
Ini hanya contoh kecil dari ribuan contoh hidup yang dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Tidak. Bangsa kita tidak malas. Tapi kurang pengetahuan dalam memperbaiki taraf ekonomi emang betul.
Saya pikir penyebab kemiskinan itu bukan karena tak mau kerja melainkan pada cara kita berpikir. Umumnya cara kita berpikir ruwet. Untuk dapat pekerjaan saja harus sekolah dulu, susah dan mengeluarkan biaya tinggi. Pergilah ke sekolah, belajar yang rajin, dapatkan nilai yang tinggi lalu cari pekerjaan. Sementara sudah jadi rahasia umum bahwa kebanyakan jurusan yang ditawarkan perguruan tinggi (terutana negeri) ditujukan bagi para ilmuwan. Alias banyak yang tidak punya korelasi dengan lowongan kerja yang tersedia di lapangan. Jadi kalau hanya sekedar untuk mencari pekerjaan yah ngapain susah-susah sekolah dulu, buat saja pekerjaan sendiri.
Mindset bahwa pekerajan mesti dicari bukan diciptakan tertanam cukup dalam pada alam bawah sadar bangsa kita. Makanya pekerjaan berdagang dan buka usaha sendiri dilihat sebagai pintu darurat, bukan tujuan utama. Jarang yang pergi sekolah bermaksud setamatnya nanti akan buka lapangan usaha. Setting mindset seperti inilah menurut saya mengapa kita tidak tanggap terhadap peluang. Kalaupun ketemu peluang yang dibayangkan yang susah-susahnya saja. Oke lah buka usaha, tapi gimana memulainya, dari mana modalnya, gimana jualnya terus ngapain nanti kalau dagangan gak laku atau bangkrut?
Sebetulnya gak gimana-mana sih. Bangsa kita kaya akan sumber daya alam. Setiap orang berpeluang hidup makmur. Membotolkan air putih saja telah membuat beberapa orang kaya dan membuka lapangan kerja bagi ribuan orang. Yang perlu dilakukan hanyalah merubah pola pikir dari pencari kerja menjadi pencipta kerja. Menghidupkan semangat entrepreneurship di sekolah-sekolah seperti yang dilakukan Ciputra bisa jadi satu langkah jitu untuk memulainya. Mudah-mudahan dari percikan-percikan semangat berusaha sendiri stigma kita bangsa pemalas terhapus dari muka bumi.
Insya Allah!