Oranga mengatakan bahwa berpikir itu sama dengan bicara pada diri sendiri. Dialog yang terjadi dalam batin ini menggunakan konsep-konsep dan pengertian-pengertian tertentu yang mencirikan diri kita sebagai individu di tengah kehidupan sosial maupun alam semesta. Pikiran ini personal sifatnya, tidak bisa dilihat dan diketahui orang lain. Bagaimana remuk redamnya batin seseorang sepanjang mereka menghiasi wajah dengan senyum, kita tidak dapat benar-benar tahu apa yang terjadi di dalam sana. Makanya ada peribahasa: Dalamnya laut bisa di duga, tapi dalamnya hati manusia tak seorangpun yang tahu.
Tapi berpikir tanpa mengkomunikasikannya pada orang bukanlah tujuan dari berpikir sesungguhnya. I think, therefore I am. Ngapain coba Alexander Graham Bell memikirkan pesawat telepon sampai botak kalau dia tak menyampaikan pada orang lain. Kita menggunakan penemuan yang dikomunikasikan tersebut sebagai alat keterhubungan dengan orang lain tanpa memperhitungkan waktu dan jarak. Telepon membentuk wajah budaya yang effsien seperti sekarang.
Pikiran membutuhkan kata-kata. Baik saat berdialog di dalam maupun saat menyampaikan pada orang lain. Maka alangkah pentingnya jika kita memberi perhatian khusus terhadap kata-kata yang akan digunakan. Tidak cukup menggunakan kata “kursi” jika yang kita maksud adalah tempat duduk seperti dipan, beralaskan material empuk yang enak diduduki dan dibungkus kulit atau kain-kain cantik. Kita menyebutnya sofa. Begitupun dalam menyebutkan warna, ketidak jelasan membuat kita sering keliru menyebutkan suatu situasi. Gak jelas benar warna lembayung itu seperti apa, maka senja yang ditingkahi matahari terbenam, kemarin dari tepi Cisadane ada yang menamainya sebagai senja merah (ngaku). Dan sampai sekarang masih terheran-heran mengapa pula gula jawa disebut gula merah. Perasaan yang dominan warna coklat deh!
Jadi kalau kita ingin berpikir dengan jelas maka harus menggunakan kata-kata yang tepat pula. Saya tuh paling sebel kalau mendengar para politikus ngomong di TV. Bahwa untuk tidak mau mengakui sebagai koruptor saja perlu berkilo-kilo kalimat tak berguna bertaburan di udara. Coba juga perhatikan para ustadz kita ceramah di mesjid-mesjid. Tidak berlaku bagi semua ustad sih tapi yang saya temui kebanyakan begitu. Dan mudah2an tidak bagi orang lain, tapi saya emang sering senewen dalam mencoba memahami isi pesan mereka.
Kata-kata akan memicu pikiran. Kata-kata yang jelas akan membuat pikiran juga jelas. Kalimat abu-abu menciptakan kabut dalam pikiran. So, apakah saya sudah menggunakan kata-kata yang tepat dalam blog saya? Belum lah ya! Lah menuliskan ini kan langkah awal untuk memulai 🙂
Salam,