Nilai-nilai dalam masyarakat meliputi apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Yang baik diharapkan terjadi dan dianjurkan agar dikerjakan. Sedang yang buruk dihindari dan kalau dilakukan akan memperoleh hukuman setimpal. Nilai-nilai tersebut sudah dilekatkan kepada kita jauh sebelum lahir yang berarti dalam bentuk embrio pun kita sudah menerimanya. Coba saja, orang tua berharap setiap anak yang lahir dalam keluarga lengkap seluruh anggota tubuh dan tidak cacat. Semoga kelak dia berguna, soleh dan solehah, pandai dan mendapat kedudukan yang baik dalam masyarakat. Orang tua lalu membuat slametan dan mengundang teman-teman dan kerabat untuk mendoaka agar sang anak senantiasa selamat hidupnya dibawah lindungan Allah Yang Maha Kuasa.
Harapan baik itu daftarnya bisa sangat panjang. Orang tua yang berharap sebaliknya kalau bukan gila sedikitnya akan disebut aneh. Bahkan dalam satu suku yang memberi nilai lebih pada satu jenis kelamin, mendapat anak dari kelamin sebaliknya dianggap sebagai ketidak beruntungan atau belum beruntung. Begitulah nasib buruk dan ketidak beruntungan pasti dihindari sebab kebudayaan kita menempatkan sebagai sesuatu yang tak baik.
Seumur hidup kita akan menjadi bagian dari sebuah group atau kelompok dengan nilai-nilai tertentu. Yang menarik nilai-nilai tersebut selalu relatif. Jika Anda adalah seorang remaja dan menjadi anggota sebuah perpustakaan, score anda akan tinggi dalam group pecinta buku. Tapi dalam satu group musik gaul bisa jadi Anda hanya seorang kutu buku, gagap dan cemen yang tak menarik dijadikan teman.
Betapa relatifnya nilai-nilai sosial terlihat juga dalam nilai-nilai duniawi yang saya anut. Menurut saya kehidupan telah menempatkan saya dalam kelompok manusia beruntung. Setidaknya lebih beruntung dari seorang perempuan yang hidup serba kekurangan, janda dengan 2 anak di sebuah desa di Jawa Timur. Secara personal tidak kenal sih namun karena saya dianggap bisa meng- coaching soal hidup (kata dia lho hehehe..) kami sering bertukar cerita lewat sosial media. Saya tahu mengapa dia ditinggalkan suami. Nilai-nilai saya masuk dari sini : Kalau seorang perempuan ditinggalkan orang yang dicintainya demi perempuan lain, menurut saya sih itu cerita sedih .Tapi coba kalau sudut pandang ini saya bawa pada seorang Ustadz yang punya nilai-nilai surgawi pasti terkena hardik, ” Kata siapa kau beruntung? Allah mencintai umatnya dengan mencobai mereka dalam berbagai ujian.” Dengan kata lain menurut padangan Pak Ustadz, teman saya lebih beruntung karena Allah mencintainya makanya diberi berbagai cobaan.
Selain relatif, eksistensi sebuah nilai harus bertumpu pada nilai yang lain. Jika kemakmuran dianggap baik, maka kemiskinan akan diperangi. Begitupun ketika sifat dermawan dianggap landasan universal dari kebaikan maka sifat kikir tak saja dianggap buruk juga memalukan. Maka tak heran bila mereka yang kikir akan menyembunyikan sifat ini dalam berbagai dalih seperti berhemat dan efisiensi. Sementara yang sebetulnya “mengambil” melabeli perbuatan mereka dengan “memberi”. Saya tuh sering geli kalau membaca yang beginian, terutama istilah “sharing” yang dipakai dalam dunia bisnis.
Nah nilai-nilai sosial yang lahir dari kesepakatan bersama ini tak akan pernah bisa dimusnahkan. Kecuali bumi hancur dan seluruh umat manusia punah. Sepanjang umat manusia menggunakan bahasa sepanjang itu pula nilai-nilai akan bertahan. Seperti juga energi yang tak pernah punah kecuali berubah bentuk, nilai-nilai juga takan punah kecuali berubah mengikuti wajah ruang dan waktu . Memang ada segelintir moron yang menganggap hidup cuma seluas daun kelor dan nilai-nilai yang benar adalah nilai-nilai yang mereka anut. Namun dari keragaman nilai, benturan dan keabsahannya inilah membuat hidup warna-warni. Memungkinkan kita berpikir lebih kompleks bertoleransi terhadap diri dan sesama serta membuat kita tumbuh lebih bijaksana.
Bagaimana menurut Anda?
Salam,