Kabupatan Karawang secara gerografis tidak jauh dari Tangerang. Saya tak mengerti benar apa yang disebut orang goyang karawang. Apakah berhubungan dengan tari jaipong ataukah sebentuk geliat tubuh perempuan yang berkonotasi mesum. Yang jelas daerah penghasil beras dan terkenal dengan Pepes Jambal Walahar ini pertama kali menyentuh ingatan saya lewat sebutan itu. Padahal di sini juga tertinggal jejak peninggalan Belanda yakni Bendungan dan Waduk Walahar.
Lalu nama Kabupaten ini muncul lewat pelajaran sejarah. Ada Chairil Anwar dengan puisi Karawang-Bekasi. Karawang juga muncul dalam peristiwa sejarah Rengasdengklok. Mengenai penculikan Soekarno-Hatta menjelang detik-detik proklamasi.
Terus jaman orde baru Karawang tampil di pentas nasional sebagai lumbung padi yang menyokong produktivitas sawah secara nasional.
Cuma segitu pengenalan saya terhadap kota itu.
Menikmati Pepes Jambal Karawang
Sebetulnya tujuan utama ke perbatasan dengan Kabupaten Bekasi ini adalah untuk berwisata kuliner. Tempat ini terkenal banget dengan pepas jambal walahar. Jadi dari Serpong kami langsung menuju Rumah Makan Pepes Walahar H. Dirja yang legendaris.
Karena Bendungan dan Waduk Walahar sudah jadi destinasi wisata, terdapat banyak rumah makan aneka pepes jambal di sekitar sini. Diantaranya adalah rumah makan pepes jambal Bapak H. Dirja
Menarik berkunjung ke tempat ini. Karena kita diperbolehkan masuk ke dapurnya. Melihat-lihat cara pembuatan pepes ikan jambal yang dibumbui dengan rempah khusus sehingga terhidang lah daging ikan jambal yang padat, kenyal, empuk dan tebal.
Berbeda seperti masakan pepes biasa, Pepes Jambal Walahar tidak dikukus, melainkan dibakar. Ikan-ikan yang sudah dibumbui dan dibungkus daun pisang di tata di atas sebuah rak besi. Nah dari bawah dimatangkan dengan api kayu bakar.
Setelah agak panas, ratusan bungkusan daun pepes menggelegak dari dalam, mengeluarkan sari ikan dan membasahi bungkusnya. Itu lah mengapa sekalipun dibakar kesannya tetap seperti pepes yang dikukus.
Baca juga:
Usai Menikmati Pepes Walahar
Main ke Karawang sebetulnya banyak juga destinasinya, tidak sekadar menikmati kuliner pepes jambal walahar. Sebab kota ini juga punya museum yang merekam jejak perjalanan sejarah dan budayanya.
Saat berkunjung kemarin, saya perhatikan dipusat kota juga terdapat berbagai bangunan tua yang bersebelahan dengan ruko-ruko moderen. Ada wihara megah yang terjepit diantara toko-toko. Terus ada jalan bernama Tuparev yang berarti Tujuh Pahlawan Revolusi.
Kalau disempatkan bertanya pasti banyak informasi yang bisa digali di dalamnya. Sayangnya kami tergesa-gesa. Hanya sempat menyinggahi Bendungan dan Waduk Walahar untuk menikmati deburan airnya yang keluar dari pintu air, sejarahnya, dan bagaimana cantiknya bangunan jembatan sepanjang 50 meter yang melintang di atas Sungai Citarum.
Sejarah Bendungan dan Waduk Walahar Karawang
Sebagai salah satu Kabupaten di Jawa Barat tentu saja Karawang punya banyak cerita. Sejarahnya berawal dari daerah liar tak bertuan, kemunculan berbagai kerajaan kuno sampai masuk wilayah negara Republik Indonesia.
Bendung Walahar Karawang selesai dibangun pemerintahan Belanda pada tahun 1925. Menikmati pemandangan pintu-pintu air peninggalan Belanda, itu juga kesempatan baik bagi saya untuk merenung. Memang sih Belanda jago membangun sistem irigasi mengingat kondisi negara mereka yang banyak kanal-kanalnya. Namun sebelum tahun 1900 mereka sudah bisa meramalkan akan seperti apa kelak negara jajahan mereka yang banyak di lintasi sungai-sungai besar ini.
Untuk menghadang air yang meluncur dari laut jawa agar tak membenamkan Karawang utara dan sekaligus mendistri air Sungai Citarum secara baik ke sawah-sawah maka didirikanlah beberapa bendungan.
Baca juga:
Jejak Peninggalan Belanda Karawang itu Masih Kokoh
Berkunjung ke Bendungan dan Waduk Walahar ini mau tak mau membuat saya sedikit merenung. Memandangi pintu air yang mengalir deras, burung camar terbang di atasnya, jadi ingat pada golden gate Kutai Kertanegara yang baru saja runtuh.
Jembatan yang berdiri kokoh di hadapan saya ini salah satu produk sejarah, sisa jejak Belanda yang pernah menjajah kita dan sekarang berumur hampir 100 tahun namun masih layak digunakan. Sementara yang berusia baru puluhan tahun sudah hancur lebur. Sudah begitu dengan meminta korban nyawa pula. Sebenarnya apa sih yang salah pada kita? Kelamaan dijajah kah?
Salam,