” Jika engkau ingin tahu seperti apa kehidupanmu sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, lihatlah teman-temanmu sekarang. ” Ungkapan ini saya temukan pada sebuah buku yang (seperti kebiasaan) lupa judul dan penulisnya. Tadinya cuma terbahak. masa iya sih? Eh makin lama dipikir makin terasa benarnya. Setidaknya itu berlaku dari perubahan saya dalam memandang dan mengaprisiasi makanan. Itu gara-gara pergaulan intens dengan Mb Bibong Widyarti, pelaku hidup organik dan pengarang buku ” Hidup Organik: Panduan Ringkas Berperilaku Selaras Alam”. Tulisan saya tentang ini disini.
Jika beberapa waktu lalu syarat makanan yang baik menurut saya hanya sehat, cukup kandungan gizi, akhir-akhir ini punya sedikit perpektif terhadap makanan yang terhidang atau yang akan dikonsumsi keluarga. Saya mulai memanjang-manjangkan masalah. Misal dari bahan apa makanan terbuat, dari mana asalnya dan bagaimana memprosesnya.
Dengan berbagai kasus kejahatan yang terjadi dalam pengolahan makanan, seperti menambahkan bahan-bahan berbahaya ke dalamnya, amat mudah seseorang yang ingin menjaga kesehatan tergelincir ke dalam paranoid. Coba gimana tak senewen jika ada orang tega memasukan melamin ke dalam susu bayi. Menggunakan pewarna tekstil agar tampak menarik. Merendam ikan dan tahu ke larutan pengawet mayat agar tak cepat rusak. Memasukan biji plastik agar kue terasa kenyal. Belum lagi makanan yang berasal dari biji-bijian seperti kedele yang diimpor dari negara maju yang telah menerapkan rekayasa genetik dalam sistem pertanian mereka.
Bagus saja kalau sudah tahu gak senewen dibuatnya. Dan daftar kejahatan terhadap makanan bertambah panjang dari tahun ke tahun. Tapi biarlah orang lain saja yang senewen dan parno, Insya Allah saya tidak. Ogah lah! Sehat fisik tapi batin rusak gara-gara curiga mulu, buat apa?
Hidup secara organik tidak melulu tentang makanan. Hidup secara organik meliputi banyak aspek. Namun bagi saya lebih mudah mulai membahas melalui makanan. Dan itupun bukan seluruhnya tentang makanan organik.
Adalah fakta bahwa makanan organik belum terlalu populer di Indonesia. Dari sisi produsen, mengusahakan agar produknya organik bukan perkara semudah membalik telapak tangan. Makanya banyak produk organik abal-abalan yang beredar di pasar. Ngakunya organik, tapi tidak ada satu badan pengawas yang melegitimasi bahwa produk itu benaran organik. Jadi tulisan organik di label hanya asal tulis, tak ada sertifikat sebagai bukti otentik bahwa produk yang dijual telah memenuhi prinsip-prinsip organik.Dari sisi konsumen, produk organik relatif masih sedikit. Kalaupun ada harganya mahal. Jadi saya tidak seratus persen menerapkan konsumsi makanan organik, tapi berusaha mengikuti prinsip-prinsip organik dalam memilih makanan emang betul.
Yang dimaksud dengan prinsip hidup organik itu meliputi cara kita dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, sikap, perilaku dan nilai-nilai yang dianut. Maka alih-alih membeli buah impor akhir-akhir ini saya usahakan membeli buah lokal. Desember di Tangerang di tandai oleh buah Manggis dan Rambutan. Dua jenis buah ini rasanya eksotis. Dengan membiasakan membeli buah yang sedang musim seperti rambutan parakan, duku palembang, apel malang, mangga indramayu, nanas sumedang, dll. minimal ada keberpihakan pada petani. Kalau saja tiap rumah tangga menerapkan prinsip ini sebanyak 25% saja, disamping dunia pertanian kita akan tambah maju, tumbuhan dan buah lokal yang sekarang mulai punah suatu saat pasti muncul lagi. Sekarang siapa yang ingat pada rasa buah kecapi dan kesemek?
Salam,