Foto patung perunggu ini saya ambil pakai ponsel di RSPAD Gatot Subroto, pada bangsal anak. Seorang ibu muda berbadan sehat dengan payudara penuh sedang bersiap menyusukan bayinya. Awalnya tercenung memandangi pesan kemesraannya, tak lama membentur dinding kesadaran. Eh hareeee gene mana ada prempu Indonesia berkonde dan berkebaya lengkap seperti itu? Kalau kondangan atau Kartinian sih bisa dimaklumi.
Gimana rasanya coba saat pontang-panting mengurus bayi dan rumah tangga harus mengenakan busana seperti itu. Tak pingsan juga bagus. Namun untuk perempuan yang hidup dibawah tahun 50-an, berkonde, berkain dan berkebaya adalah model fashion yang berlaku.Perut diikat stagen sampai napas sesak juga gak masalah. Bahkan untuk waktu yg tak begitu lama di belakang ibu saya kepasar naik sepeda dengan kebaya lengkap.
Ada rentang waktu yang membedakan cara berpakain saya dengan ibu serta sosok perempuan yang digambarkan patung kuning ini. Satu bukti empiris dari perubahan sosial yang bisa diamati secara kasat mata. Berlangsung pelan-pelan, tak disadari, namun dalam satu momen saat ditoleh kebelakang, hidup yang kita tempati saat ini ternyata amat berbeda dengan hidup yang terjadi di masa lalu.
Segalanya berubah di bawah matahari. Ada yang berlangsung tanpa disadari seperti cara berpakaian, ada pula yang sengaja di lakukan. Kalau saja ada yang terkenang pada Pak Harto, ingat jargon REPELITAnya, hapal pada delapan jalur pemerataannya, ingat lah kita sedang bicara tentang perubahan. Suatu perubahan yang dilakukan dengan sengaja, terencana dan besar-besaran. Dalam salah satu jalur yakni pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan untuk kaum wanita (mengapa ya Bu Tien tak suka menggunakan istilah perempuan?), program yang dijalankan Pak Harto merubah pola pikir bangsa Indonesia bahwa setiap anak mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Itu dibuktikan dengan membangun SD Inpres sampai ke pelosok nusantara yang menjadikan pendidikan lebih mudah diakses.Kehadiran SD inpres juga membuka jalan bahwa tak ada lagi sekolah yang tabu dimasuki anak perempuan.
Suka atau tidak, dampak dari pembangunan yang dijalankan Orde Baru dalam menyentuh segenap lapisan kehidupan itu sudah terlihat sekarang. Ruang publik dan lowongan kerja terbuka untuk semua perempuan, baik yang berpendidikan tinggi maupun tak sekolah sama sekali. Perempuan bekerja sama kerasnya dengan rekan pria mereka. Meninggalkan rumah pagi buta dan kembali ke rumah sudah malam buta. Sekarang kita agak kesulitan menemukan lowongan kerja yang tak bisa diisi oleh perempuan. Yang belum sepertinya hanya mengangkat bedil di medan perang. Kita hampir punya seorang astronot wanita. Hanya gara-gara Challenger meledak di udara saat diluncurkan akhirnya program keluar angkasanya Ibu Pratiwi di batalkan. Kalau saja tak terjadi kecelakaan itu saat ini Indonesia sudah punya minimal satu astronot perempuan yang akan dikenang sejarah.
Akhirnya pendidikan perempuan tentu saja merubah wajah kehidupan sosial kita dari sendi-sendinya. Dalam keluarga tradisional peran sosial terkonsentrasi pada suami. Suami yang bertanggung jawab sebagai pencari nafkah. Status suami sebagai figur yang tak terbantah dan penuh otoritas. Integrasi keluarga hanya dapat tercapai ketika suami menampakan posisi dominannya sementara perempuan melakukan segala hal untuk menyenangkannya.
Sementara pada keluarga moderen peran tersebut pelan-pelan terdistribusi secara lebih seimbang. Mencari nafkah, merawat anak, mendidik anak, mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga di lakukan bersama-sama. Sekarang lelaki tak tabu lagi masuk dapur dan pegang cucian. Terlepas bahwa mereka tetap kepala rumah tangga yang dihormati, lelaki sekarang jauh lebih feminim dan peka. Mereka menyokong istri-istri berkarir di luar rumah. Maka tak aneh jika kemudian lahir pemeo bahwa di belakang perempuan bersuami yang kariernya hebat biasanya juga terdapat suami yang hebat 🙂
Salam,