Setelah menginap satu malam, menghabiskan pagi di tepian Danau Ranau yang kemilau, menikmati sarapan nasi goreng yang enak, tiba saatnya melanjutkan perjalanan. Kami akan Melintasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, menyusuri jalannya yang meliuk-liuk sambil menikmati kekayaan alam Lampung di kiri-kanannya.
Perjalanan Menuju Krui
Tujuan berikut adalah Krui, kota kecil dengan pantai yang cantik dan ombak dahsyat yang sudah terkenal bagi perselancar domestik dan dunia internasional. Salah satu pantai yang terkenal itu adalah Pantai Tanjung Setia yang tinggi ombaknya berkisar antara 6 – 7 meter. Selain itu, ombaknya pun sangat panjang, bisa sampai 200 meter. Sangat menarik bukan?
Krui terletak di wilayah paling barat Propinsi Lampung. Itu berarti kembali menyusuri jalan Muara Dua-Liwa sampai akhirnya bertemu persimpangan di Pasar Liwa. Ke arah kiri menuju Batu Brak, arah datang kami kemarin. Ke kanan akan membawa ke Krui lewat Balik Bukit terus menuju Pesisir Tengah dan akhirnya sampai di Krui.
Liwa-Krui Melintasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Perjalanan dari Liwa ke Krui ini atau jalan raya Liwa-Krui memotong kedalaman perut Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang berada di Kabupaten Tanggamus – Lampung Barat. Setelah beberapa kilometer meninggalkan Balik Bukit kita disambut signboard berisi ucapan Selamat Datang yang menyeruak dari kerimbunan pepohonan.
Membaca tulisan itu saya jadi romatis. Menimbulkan rasa syukur yang dalam. Perlintasan ini memberi nuansa pada beberapa jendela perspektif. Bahwa kami sedang memasuki kawasan hutan hujan sekunder kelas dunia. Sebab UNESCO telah menetapkan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebagai warisan dunia.
Fakta ini membuat mata tak habis-habis mengamati setiap meter kiri dan kanan jalan. Sekalipun sudah beraspal mulus namun kelok-keloknya ya teteup minta ampun…Persis seperti menelusuri huruf S 🙂
- Baca juga di sini:Â Â Jalan di Atas Gunung
Kekayaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Lampung
Kesinilah mata dunia tertuju, ke rumah Badak, Gajah dan Harimau Sumatera yang sekarang terancam punah. Disini pula habitat beruang madu (Helarctos malayanus malayanus), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), ungko (Hylobates agilis), siamang (H. syndactylus syndactylus), simpai (Presbytis melalophos fuscamurina), kancil (Tragulus javanicus kanchil), dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata).
Setiap kali Rafflesia Arnoldi atau Amorphophallus titanum Becc (bunga bangkai) berbunga taman ini akan menghiasi banyak isi surat kabar.
Sebagai salah satu taman dari tiga taman nasional di Bukit Barisan yaitu Gunung Leuser dan Kerinci Seblat, walau hanya dari tepi jalan, saya perhatikan TBBS punya koleksi tumbuhan berlimpah. Kaya keragaman.
Kalau tak mengetahui bahwa area ini dilindungi oleh undang-undang, saya mungkin akan terheran-heran melihat begitu banyak pohon jati, damar, kayu manis, durian, sungkay, aneka jenis bambu dan herbal yang tumbuh di sepanjang jalan.
Yah ketika hutan dilindungi undang-undang tanaman besar seperti Sungkai akan luput dari mata gergaji. ” Kok tumben gak ada yang rakus?”, komentarmu dalam hati.
Terlihat juga berbagai tanaman herbal seperti kapol, kunyit putih, rumput-rumputan yang saya tak tahu apa namanya. Pada sebuah belokan, dari kejauhan saya berteriak kesenangan saat menangkap bayangan pohon bayur. Phon yang sering juga disebut bayor atau wadang (Pterospermum javanicum) adalah sejenis pohon penghasil kayu pertukangan berkualitas baik.
Pohon yang sekarang langka, belakang daunnya di lapisi semacam serat berwarna putih yang bisa dikelupas. Jadi ingat pohon bayur dulu banyak tumbuh di tak jauh dari rumah kami di kampung . Nah waktu kanak-kanak saya sering mengelupasi serat putih di belakang daunnya itu. Dibulatkan untuk dijadikan bola.
Jalanan Yang Terus Diperbaiki
Saat ini jalan Liwa-Krui sedang mengalami pelebaran. Walau begitu menurut saya jalannya masih sempit. Tak terbayang keadaan sebelumnya, pasti amat sulit berpapasan dengan kendaraan dari arah lain di belokan-belokan cacing seperti itu.
Walau ini merupakan taman nasional, disediakan bagi habitat liar, di beberapa tempat bisa ditemui bangunan kayu darurat yang mungkin dimaksudkan sebagai warung. Saya tak tahu apakah bangunan seperti itu dibolehkan oleh Perhutani, yang jelas kehadiran mereka membuat jalan tembus ini tak begitu sunyi.
Walau kebanyakan warung-warung itu tampaknya kosong, tanda-tanda kehadiran manusia disitu setidaknya mengisyaratkan bahwa kita tak begitu jauh dari peradaban 🙂
Melintasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ini mau tidak mau kian menebalkan rasa nasionalisme. Saya merasa semakin cinta pada Indonesia yang beragam ini. Tak hanya budaya tapi juga kekayaan alamnya.
Salam,
— Evi