Namanya Sri Kurniatun dan berprofesi sebagai perencana keuangan syariah. Aku memanggilnya Mbak Sri dan dia memanggilku Bu Evi. Kenal dirinya di Komunitas Tangan Diatas, suatu wadah pengusaha UKM berenteraksi, saling berbagi, entah menyemangati, sharing ilmu maupun menjalin hubungan bisnis. Awalnya cuma ketemu di dunia milis, namun berkat TDA sering kopdar lama-lama kami sering bertemu face to face…
Mbak Sri seorang wanita ramah. Tawanya sampai ke mata. Suatu tanda-tanda yang menurutku datang dari jiwa. Bukan keramahan palsu ala para sales dan teller bank. Walaupun dia seorang dosen, pembicara, dan penulis buku, ciri wanita Jawanya melekat erat. Bersuara pelan, kalau bicara memastikan bahwa orang lain tidak tersinggung dan mengerti apa yang dimaksud olehnya
Belakangan kesibukanku terus meningkat, aktivitas di TDA berkurang. Namun silaturahim dengan dirinya tetap terjalin lewat facebook. Lewat jejaring sosial aku mengikuti perkembangan bisnis konsultan keuangannya. Dan beberapa kali kami masih bersirobok tatap muka seperti di ajang pameran dagang. Perusahaanku ikut pameran, dia pengunjungnya. Dan terakhir ketemu di Smesco Center tahun 2010.
Pada suatu ketika di penghujung tahun 2011, terbaca status facebooknya tentang opname di rumah sakit. Penyebabnya sakit perut dan muntah-muntah. Aku pikir diare karena kecapekan. Dia kan pekerja keras. Sebagai teman tentu aku mendoakan agar dia cepat sembuh. Basa-basi sotoy ala facebookers. Eh beberapa bulan kemudian baca status facebooknya lagi. Kali ini tentang pamitnya pada teman-teman di seluruh jaringan bahwa dia akan pulang ke Kebumen, kampung halaman, agar lebih dekat dengan keluarga.
Di tengah kegiatan begitu banyak dan bisnis yang sedang meningkat, dia mau pulang kampung? Aku mencium sesuatu yang tak beres. Pasti itu berhubungan dengan penyakit yang membuatnya beberapa kali checkup di rumah sakit setelah diopname dulu. Melalui inbox aku tanya apa sakit Mbak Sri sesungguhnya? Namun jawabannya cuma minta di doakan dan semoga dia tabah dan penyakitnya segera lenyap.
Belakangan aku dijangkiti rasa malas menggunakan facebook. Asyik di Twitter dan blog. Paling-paling buka bentar, lihat kalau2 ada pesan inbox setelah itu di tutup lagi. Kemarin tanggal 22 Januari, iseng kelayapan antar dinding teman-teman. Salah satunya ke dindingnya Mbak Sri. Ya Allah disana bertaburan ucapan duka cita atas kepergian Mbak Sri untuk selama-lamanya. Rupanya Mbak Sri telah wafat sejak 12 Januri 2012. Minimal itu yg ditulis kerabatnya di dinding facebook beliau.
Kami bukanlah kawan akrab. Pertalian kami dari komunitas TDA berakhir dengan saling mendoakan untuk sukses masing-masing. Tapi menyadari orang dalam foto diatas telah tiada, ada sesuatu yang tercerabut dalam dadaku. Merasa terasing dari dunia sekeliling, hening, mencekam dan detak jantungku berpacu lebih cepat. Dia masih teramat muda, belum berkeluarga dan punya semangat tinggi untuk maju. Benaran kah engkau sudah pergi Mbak? Tanyaku dalam hati.
Setiap yang bernyawa akan mati. Namun jauh di dalam sana aku sering berpikir bahwa kematian terletak disuatu tempat, yang jaraknya ribuan kilometer dari tempatku. Dia akan datang tapi tidak dalam waktu dekat. Namun kematian 9 orang yang ditabrak Xenia yang dikemudikan orang mabok membuatku terduduk dan berpikir. Melongok dan bertanya ke dalam. Apakah mereka yang berdiri di halte punya sedikit saja pikiran bahwa kisah mereka akan berakhir pagi itu? Malah mereka belum naik angkutan, masih di halte, suatu tempat yang mestinya mustahil merenggut nyawa mereka. Apakah mereka punya bayangan sedikit saja bahwa entah dengan cara bagaimana maut melintasi tempat itu?
Aku kira tidak! Si Bapak yang masih menyodorkan botol susu kepada anaknya yang sedang meregang nyawa pasti juga tidak berpikir bahwa maut bisa datang begitu tiba-tiba. Mbak Sri saat memutuskan mengadu nasib di ibu kota pasti juga tak berpikir bahwa dia akan dihentikan ditengah jalan.
Dan aku? Kapan waktuku? Ya Allah kok ngeri ya…
Selamat jalan Mbak Sri. Maafkan jika selama sakit dan kepergiaanmu aku tak peduli 🙁 Semoga rasa sakitmu menghapus semua dosa-dosamu. Amin
Salam,
— Evi