Anak – anak adalah manusia mini yang baru turun dari surga. Mereka selalu bahagia. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, menatap dunia dengan polos, dan mereka dilindungi oleh Allah agar tidak perlu segala tahu apa yang sedang terjadi di dunia orang dewasa. Hanya di mana anak-anak berkumpul, ada kesempatan nyata untuk bersenang-senang. Seperti suatu sore menangguk ikan di kali kecil di depan rumah ibu di kampung.
Menangkap Ikan di Sungai Jadi Pesta Besar
Sore kemarin, di depan rumah ibu, kali kecil yang berfungsi sebagai saluran irigasi yang di kampung saya disebut Banda, tiba-tiba saja menyusut airnya. Mungkin sang pengambil keputusan buka tutup Pintu Air sedang menjalankan tugas, menutup aliran air ke kali yang melintas di depan rumah kami untuk dialirkan ke sungai yang lain.
Tak hanya susut tapi keruh pula. Rupanya mengurangnya debit air membuat lumpur naik ke permukaan. Cukup pekat yang membuat air kehilangan oksigen.
Akibatnya para ikan terpaksa mengapung ke permukaan, megap-megap mencari udara. Dan kesempatan ini tentu tak dibiarkan warga desa, terutama anak-anak untuk mendapatkan tambahan lauk buat ibu di rumah.
Tradisi Menangguk Ikan di Kali di Dusun Magek
Manangguak dalam bahasa Minang, menangguk dalam bahasa Indonesia. Sebuah tradisi menangkap ikan bersama di banda di kali atau di sawah. Di kampung saya, Magek – Bukittingi, usianya pasti lebih tua dari kakek-nenek saya. Tradisi yang juga saya akrabi kala kecil, turun ramai-ramai ke sungai dengan tangguk yang jaringnya terbuat dari benang katun.
Iya di tahun 1980-an tangguk yang saya kenal terbuat dari benang katun. Berwarna putih tulang dan akan semakin coklat gelap seiring seringnya di pakai. Mungkin material ini lebih mahal dan juga lebih rapuh, saya perhatikan sekarang tangguk yang tetap menggunakan tangkai dari kayu kebanyakan terbuat dari benang nilon.
 membuat aroma lumpur meninggalkan kenangan manis dalam benak. Rasa dan aroma dari ikan segar yang yang baru digoreng menjadi satu-satunya refrensi sebagai menu masakan ikan yang enak.
Ikut Bergembira Bersama Para Bocah
Banda itu atau sungai kecil itu bersama gelak para bocah membuat sore saya semakin romantis. Iya sungai kecil ini akan ramai tiap airnya susut. Entah  karena pintu air di hulu ditutup untuk memberi kesempatan irigasi lain lebih berair atau memang musim kemarau.
Yang jelas begitu kesempatan itu datang anak-anak akan bergegas turun dengan membawa alat-alat penangkap ikan. Bahkan tidak sedikit dengan tangan kosong. Jejak kaki ramai-ramai ini tentu  membuat lumpur tentu semakin banyak naik ke permukaan. Dan air semakin  kehilangan oksigen. Ikan bertambah pusing dan panik. Dengan demikian semakin mudah di tangguk ataupun hanya di tangkap pakai tangan.
Itu lah sedikit dari jejak masa lalu saya. Senang tiap kali memandangi seekor ikan menggelepar dalam tangguk sesaat diangkat dari air. Jenisnya macam-macam. Mulai dari ikan mas, paweh, belanak, sepat, mujair sampai bletok di sikat habis. Ikan-ikan kecil itu dikumpulkan dalam satu jala kecil. Nanti nenek yang akan membersihkan lalu di goreng atau di palai (pepes).
Kemarin karena ibu sudah tak punya cucu tinggal di kampung, saya pun cuma bisa melihat-lihat dari tepi banda. Amat terhibur mendengar cericau anak-anak itu yang bermain dalam air keruh bersama tangguknya. Tak banyak ikan yang bisa mereka kumpulkan. Mungkin karena terlalu sering di tangkap tanpa memperdulikan kelestariannya sungai kecil tersebut. Dan jenisnya juga tidak lagi beragam. Dalam jala seorang anak terlihat seekor ikan sapu. Dan sepertinya cuma itu tangkapan yang agak istimewa sore kemarin.
Gimana temans, apakah pernah juga menangguk ikan di kali? Atau apakah di kampungmu juga ada tradisi menangkap ikan ramai-ramai seperti ini?
Salam,
–Evi