Kembali ke kampung halaman, kembali ke lingkungan masa kanak-kanak, kembali menikmati panorama sawah di kampungku. Setidaknya kembali ke suasana lama, setiap pagi, siang, sore dan malam memandangi panorama sawah berlatar belakang Bukit Barisan.
Kalau pagi berkabut, saing ketika langit sedang biru dengan awan berarak, sore menjelang magrib ketika sunset perlahan bersembunyi ke balik bukit. Tempat ini dulu dan kini tidak jauh berbeda. Itu lah mengapa rindu kepadanya juga tidak pernah lekang.
Pulang Kampung Menjenguk Orang Tua
Saat ini lagi-lagi berada di kampung di Magek Bukittinggi-Sumatera Barat. Pulang bukan semata rindu ayah-bunda tapi berhenti sejenak dari kepikukan kota besar jadi sebuah kebutuhan. Hanya yang jadi pemicu, alasan mengapa sering berburu tiket adalah menjenguk orang tua. Sepasang suami istri yang sudah sepuh, berdua saja menghabiskan hari tua di tempat kelahiran mereka.
Ibu-Bapak sudah lama merantau. Lebih dari separuh usia mereka. Tiga orang anak mereka lahir di kampung ini dan di boyong ke Jakarta saat masih belia. Yang dua orang lagi lahir di rantau.
Ketika kami berlima sudah berumah tangga semua, ibu-bapak merasa kehidupan di rantau sudah tuntas, tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan. Waktu yang tersisa diberikan untuk ibadah.
Yah sebuah keputusan yang berat bagi kami anak-anaknya tapi harus diterima. Apa lagi ketika ditelaah secara jujur, menggunakan hati nurani tanpa kabut, keberatan kami tak lebih dari, “siapa yang akan menjaga mereka? Kalau sakit gimana? Siapa yang bisa pulang kampung untuk menengok?”
Jadi keberatan kami bukan tentang mengenai kepentingan mereka tapi kepentingan kami sendiri. Akhirnya kami memasrahkan keputusan itu ke tangan mereka.
Dan sekarang di sini lah saya. Minimal dua kali setahun datang menengok mereka sambil healing dengan panorama sawah di muka, samping dan belakang rumah.
Baca juga :
Aktivitas di Pematang Sawah
Tadi saya kembali meniti pematang dan menyusuri jalan kenangan bersama panoroma sawah di kampungku yang rasanya gak ada duanya.
Menghirup aroma lumpur dari sawah yang baru saja ditanam sebagian. Dan sebagian lagi masih panen dan sedang dalam proses penggarapan menjelang tanam.
Terlihat ikan-ikan kecil bergerimit di bawah air sawah yang belum di tanam. Inilah rasa sebagian besar sejarah terlipat dan aku kembali jadi gadis kecil penyuka orang-orangan sawah yang tengah kembali pada kehangatan dari-ke-2 orang tua.
Dari kejauhan terlihat sekelompok ibu sedang merontokan padi dari tangkai. Salah satu ritual panen yakni setelah padi masak dan disabit. Yang membedakan dulu dan kini adalah, sekarang perontakan padi dilakukan oleh mesin. Cepat benar kerjanya. Beberapa gulung jerimi yang sarat padi masak dan montok itu masuk ke dalam mesin perontok yang berputar dengan gigi besinya. Beberapa menit saja tangkai-tangkai itu sudah botak.
Sementar kalau dulu, proses panen padi tidak sesederhana ini. Padi yang baru disabit harus ditumpuk dulu membentuk lingkaran, kurang lebih 4-7 hari. Di kampung saya gunungan batang padi berbulir itu disebut Lampok. Kegiatannya disebut Malampok.
Setelah 7 hari tangkai padi melunak dan melepaskan bulirnya dengan mudah. Baru setelah itu bergotong royong “manggiriak”, yaitu melumat batang padi dengan kaki agar butiran padi rontok.
Baca juga:
Panorama Sawah di Kampungku yang Berubah Mengikuti Zaman
Semasa kecil, petani bertanam padi serentak. Itu karena bibit padi yang relatif lama masa panennya. Disamping pestisida dan pupuk urea tidak semeriah sekarang. Petani masih mengandalkan pupuk kandang dan abu tungku untuk menyuburkan tanaman. Sementara burung pipit cukup dihalau dengan orang-orangan sawah. Belalang dan hewan pengerat dihalau dengan aneka tumbuhan yang tidak mereka sukai.
Bertanam padi secara serentak ternyata mempunyai banyak keuntungan. Pemeliharaan lebih mudah karena sawah dijaga beramai-ramai. Juga bisa memutus siklus hidup hama atau serangan organisme tanaman, dan terakhir lebih ekonomis membeli pupuk.
Tapi itu dulu. Ketika produksi padi digenjot dengan bibit unggul, pupuk urea dan pestisida menyiram hampir semua permukaan tanah, pola tanam bersama juga menghilang. Itu lah mengapa panorama sawah di kampungku tidak seindah dulu lagi. Hamparan permadani hijau ketika padi muda atau kuning saat padi masak, sekarang tidak rata lagi. Tampak bolong di sana-sani. Ibarat karpet yang robek di sana-sini.
Begitu pun tradisi mencari belut sehabis menyabit padi. Ketika sawah dibanjiri air agar tanahnya lunak untuk kemudian dibajak, di waktu sela itu biasanya dimanfaatkan anak-anak kampung mencari lauk tambahan untuk keluarga. Seperti menaruh membenamkan Lukah (bubu kecil) diantara rumpun padi yang sudah tergenang.
Begitu pun waktu tunggu bertanam juga dimanfaatkan pemilik sawah untuk membuat Ganangan. Ganangan ini mirip lah kolam ikan tapi masih ada sisa-sisa rumpun padi yang sudah dibajak dan menunggu pembusukan.
Ganangan ditanam dengan bibit anak ikan mas berusia 3-7 hari. Kurang lebih 3 bulan kemudian ketika sawah dianggap sudah siap untuk ditanam ulang, anak-anak ikan yang sekarang sudah sebesar ibu jari pun dipanen. Nah ini lah yang paling saya tunggu-tunggu. Menunggu sawah kering terus kemudian melihat bagaimana ratusan bahkan ribuan ekor anak ikan mas ditangguk sungguh pengalaman visual dan otot yang menyenangkan.
Nah yang bikin heran, entah dari mana datangnya, di kesempatan itu kita boleh berharap menemukan ikan batok atau lele yang gendut-gendut diantara ribuan bayi ikan itu. Mereka lah yang akan jadi santapan istimewa kami. Nenek akan menggoreng atau membuat palai (pepes) yang jeruknya berasal dari halaman muka.
Karena tradisi ganangan ini lah desa Magek Bukittinggi ini dulu pernah terkenal sebagai produsen pembibitan ikan mas dan Paweh. Ini tak lain dari ikan Nilem, nilem mangut, melem, atau Paweh (Osteochilus vittatus) adalah sejenis ikan air tawar anggota suku Cyprinidae. Daging mereka paling enak kalau dipangek
Dan sekarang semuanya sudah berlalu. Pestisida dan pupuk kimia sudah merampas kesuburan tanah dan kesehatan air sebagai syarat industri pembibitan ikan. Idiom orang Magek sebagai Panjua anak (penjual anak) hanya tinggal di kenangan. Sekalipun patung ikan masih berdiri di sana, itu tak lebih dari sisa kemakmuran masa lalu.
Memang begitu lah. Tak ada yang tak berubah di kolong langit. Termasuk panorama sawah di kampungku dan cara orang-orang bertani. Tak perlu berkecil hati karena auranya tetap sama. Walau bolong-bolong, panorama sawah masih di sana. Dan yang paling penting, sepasang suami istri tua yang berdiam dalam bangunan yang aku sebut “rumah” masih hidup. Itu lah alasan sebenarnya mengapa aku tetap merindukan kampung ini.
Salam,
–Evi