Renungan di Teras di Tengah Hujan Deras – Hujan sudah berlangsung sejak siang di Serpong. Membuat udara di teras seolah di puncak. Dingin tapi tak sampai menggigilkan. Bagaimana pun ini Tangerang, Bang, Puncak mah Bogor masih jauh dari sini.Dan emang enak banget duduk di teras dalam cuaca seperti ini. Jalan di depan rumah sepi. Bebas bawa secangkir kopi dan sebuah buku. Gak perlu terdistraksi oleh tetangga yang lewat.
Kalau sejak siang hujannya mood-moodan kayak ABG. Kadang deras, kadang cuma gerimis. Nah sore ini di susul hujan deras yang saking derasnya membuat tampias ke kursi di teras. Sudah gak enak untuk membaca. Lebih baik nonton pertunjukan alam ini sambil merenungkan sesuatu.
Tempayan Tuhan Pecah
Hujan deras ini seperti, kata anak saya, tempayan Tuhan baru pecah. Bukan mengucur tapi lebih tepat tumbah seperti langsung dari bendungan.
Genteng tetangga langsung terlihat mengkilat oleh lapisan air.
Tepi jalan menggenang dengan air bergegas menuju lubang yang akan menyalurkannya lewat got lalu ke sistem drainese perumahan. Saya yakin air yang muncul tiba-tiba dari langit ini tak bisa langsung diserap oleh sistem peresepan. Kali-kali pasti meluap saat ini.
Dan sedikit lahan berumput di depan rumah langsung saja tenggelam. Membentuk genangan seperti kolam ikan. Menenggelam separuh pinggang dari pot-pot bunga. Hidung saya tetap mencari aroma petrichor (petrikor) tapi sudah tak berbekas karena hujan lebat ini hanya terusan dari gerimis sejak siang.
Tak sampai lima menit, hujan lebat itu berhenti. Mirip anak-anak tantrum. Meledak-ledak dengan hebat lantas berhenti seketika ketika kehendaknya terpenuhi.
Baca juga:
- KETIKA HUJAN TIDAK LAGI MENJADI BERKAH
- Torehan Rindu di Bawah Hujan
- Berguru Kepada Alam
- Piknik di Jalan Dusun
Kenangan yang Tertinggal di Renungan di Teras di Tengah Hujan Deras
Orang mengatakan bahwa hujan itu 90 persen kenangan, sisanya baru air.
Entah dari mana mereka mendapatkan istilah ini yang jelas keberanannya hampir 100 persen. Saya suka menatap ke dalam hujan bukan karena suka pada air –walau air adalah sumber terpenting dalam hidup –tapi kenangan lah yang membuat saya berlama-lama di teras bila hujan sedang turun.
Saya suka petrikor, aroma enak yang menguap dari tanah saat hujan pertama turun.
Petichor terbentuk dari minyak alami yang berasal dari tumbuhan. Minyak inilah yang menjadi salah satu kunci utama mengapa bau hujan sangat disukai kebanyakan orang. Minyak yang terdapat di tumbuhan tersebut adalah minyak volatile, yaitu jenis minyak yang mudah menguap. —Hellosehat.com
Hujan selalu membawa kenangan saya pada masa kanak-kanak. Ketika berjalan meyusur pematang sawah, ditopangi topi pandan, kadang tergelincir karena licin, tapi tetap dilakoni sebab tak tega membiarkan nenek mengiring kawanan bebek seorang diri. Kalau sudah sore dan hujan lebat, ternak kami harus segera masuk kandang. Kalau tidak mereka akan membuang telur di mana-mana.
Aroma Petrichor Tak Selalu Sama
Renungan di teras di tengah hujan deras ini juga menyadarkan saya. Tak ada yang bisa mengalahkan petrikror yang menguap dari sela-sela rumpun padi dan pematang sawah. Lama hidup di Serpong dan beberapa kali main ke kebun teh, aroma pertrikor di sana tidak begitu membuat saya emosional.
Mungkin bukan karena petrikornya tapi lebih pada kenangannya. Karena bagi sebagian orang hujan adalah inspirasi. Sebagian lain adalah kesenduan, kesedihan bahkan kerinduan.
Beberapa beberapa peristiwa yang berlansung dalam kehidupan berlangsung disaat hujan akan meninggalkan jejak. Bisa dibawa sampai lama seperti kenangan hujan saya bersama nenek.
Bagaimana dengan dirimu teman, kemana hujan membawamu?
Salam,
— Evi