Sungai Batang Agam Nagari Magek – Rumah ibu di terletak di tepi jalan Kampung Pinang Balirik, Nagari Magek, Kecamatan Kamang, Kabupaten Agam. Tak jauh terdapat sebuah rumah lagi, rumah yang dibangun kakek kami dengan berbagai drama. Karena rumah itu berdiri di atas tanah pusaka kakek yang seharusnya ia wariskan kepada kemenakannya. Rumah yang menampung kami saat terusir dari Kampung asli di Ambacang. Kapan-kapan saya akan menulis mengapa saya sebagai salah satu cucu Nyiak Aki Kalo “merasa” terusir dari Ambacang. Yang jelas rumah ini tempat saya lahir.
Nah di belakang rumah kelahiran saya ini terdapat sungai yang semasa saya kecil berarus deras. Orang menyebutnya Batang Agam (Batang dalam bahasa Minang artinya sungai). Jadi kalau menyebut Sungai Batang Agam kurang tepat. Artinya Sungai Sungai Agam. Mubazir! Cuma sudah lama penulisan nama ini salah kaprah, jadi izinkan saya meneruskan kesalahan dengan tetap menggunakan Sungai di depan Batang.
Saya tak tahu dari mana Sungai Batang Agam berawal dan berakhir. Sudah berusaha googling hasilnya nihil. Dalam Google Maps pun belum terekam. Yang saya dapat sungai ini juga melewati Kabupaten 50 Kota dan Payakumbuh.
- Baca di sini tentang: Orang Kampung Lebih Sehat?
Sungai Batang Agam Nagari Magek Dalam Kenangan
Yang paling saya ingat dari Batang Agam ini adalah airnya jernih. Saking jernihnya kita bisa melihat bebatuan dan ikan-ikan kecil berenang di sela-selanya. Sudah begitu auranya mistis. Karena di tepinya banyak ditumbuhi pohon jawi-jawi ( sejenis beringin) besar. Sudah batangnya besar, banyak cabang, daunnya lebat, akar serabut yang tumbuh di batang menjurai sampai ke tengah sungai. Jadi saya tidak merasa aneh saat nonton film Tarzan berayun dengan akar kayu di tengah hutan. Saya sendiri dulu sering melakukan. Berayun dari tepi terus menceburkan diri ke dalam sungai dengan menggayuti akar pohon jawi tersebut.
Yang membuat batang jawi di tepi Sungai Batang Agam semakin mistis adalah batang paling bawah berbentuk aneh. Dikerubuti lumut dan bertonjolan seperti susunan gigi hiu. Tak beraturan. Saya sering membayangkan bahwa makhluk dari dunia lain sedang bersembunyi. Melakukan kamuflase seperti bunglon. Kapan pun mereka mau, mereka siap menelan tubuh anak badung yang suka membuat ibu dan nenek bersedih. Terus tanpa dikomando bulu berdiri semua. Tengkuk dan telapak tangan dingin.
Begitu pun daun pohon jawi-jawi yang rimbun. Menutupi hampir sebagian besar cahaya matahari. Membuat suasana di tepi Sungai Batang Agam jadi agak gelap. Sekalipun begitu masa kecil saya paling indah berlangsung di sini. Tempat saya dan teman-teman berenang kalau hari sedang panas. Mandi kalau air sumur kurang menarik. Mencari ikan untuk makan sore. Memetik buah arbei liar dan langsung makan buahnya yang masak di tempat. Di sini juga jadi kebun sayur kami, berbagai tumbuhan liar yang enak dijadikan sayur.
Pintu Air Batang Agam di Desa Ambacang Magek Kamang
Di kala musim hujan Sungai Batang Agam Nagari Magek ini tambah menakutkan. Arusnya bertambah deras. Saat seperti itu tidak seorang pun berani main ke sana. Bahkan orang dewasa yang sering menggunakannya sebagai jalan pintas antar kampung akan memutar, mengikuti jalan yang benar.
Nah kalau sudah banjir begitu pintu air akan dibuka. Pintu air yang kami sebut “Pakok’an” itu tak jauh dari rumah kami. Membiarkan air berarus kencang jatuh serempak dari ketinggian tertentu menimbulkan suara menderam. Menakutkan. Gemuruhnya serasa menenggelamkan. Apa lagi kalau sudah malam hari. Rumah kami yang hanya berdinding papan meloloskan semua bunyi ke dalam. Bayangkan lah keriuhan suara hewan malam bersama deru air air terjun. Mencekam!
Kalau sudah seperti itu kami semua lebih suka tidur berdekatan dengan nenek. Mendengarkan bunyi air dari Pakokan di bawah ketiak nenek. Atau meringkuk di belakang punggungnya. Tak masalah bajunya berbau asap dapur. Itu adalah zona nyaman kami bertiga.
Dan nenek kami yang buta huruf itu jago mendongeng. Ia akan menceritakan berbagai tambo (cerita rakyat minangkabau) diselingi suara dari pintu air yang hilang timbul. Tak masalah dengan suara-suara itu, negeri-negeri tempat berkelana Cindua Mato lebih memikat. Nama-nama negeri yang asing saat itu. Setelah saya dewasa dan berkeliling ke beberapa tempat di Sumatera Barat, beberapa negeri dalam dongeng nenek ternyata memang ada.
Kebun Sayur di Tepi Sungai Batang Agam Nagari Magek
Seperti telah saya sebutkan tadi. Di sepanjang dinding Sungai Batang Agam Nagari Magek yang lembab menjadi kebun sayur kami. Di sana tumbuh aneka pakis yang di kampung disebut paku. Yang jenis Anisogonium esculentum (Retz.) disebut paku ular sebab dipercaya sebagai makanan ular. Jenis ini tak pernah dikonsumsi. Untuk konsumsi dan dijadikan gulai paku di rumah adalah dari jenis Diplazium esculentum (Retz.).
Yang dipilih adalah daun muda pakis yang berkeluk-keluk seperti ular yang sedang bergelung. Ini yang paling enak digulai. Bahkan kuliner Minangkabau Katupek Gulai Paku sayurnya menggunakan daun dan batang pakis ini. Batangnya montok warna hijau, mengkilat, getas dan mudah dipatahkan. Setelah dapat kurang lebih 2 gengam biasanya saya dan teman-teman mandi dulu. Usai cebar-cebur dan kembali mengenakan pakaian yang sama baru pulang. Menyerahkan apapun yang di dapat dari Batang kepada nenek. Selain jago mendongeng Nenek juga jago membuat barang apapun jadi makanan enak.
Sayur favorit lain yang tumbuh di tepi Batang Agam adalah talas. Yang kami gunakan bagian pucuk daun. Duh ini enak banget sebagai campuran pangek. Batang talas ini tampaknya khusus. Daunnya hijau keabuan dan kalau dimasak tak gatal ditenggorokan. Tapi getah daun mentahnya tetap gatal kalau terkena kulit. Memetik pucuk talas harus dengan pisau.
- Baca juga di sini tentang: Kisah yang Disimpan Terung Ungu
Itu Bukan Tangkai Daun Pisang
Batang agam airnya jernih. Dasar sungai berupa pasir dan kerikil tampak dengan jelas. Kita juga bisa melihat ikan-ikan kecil berenang. Di sini juga saya melihat ular secara live pertama kali.
Ceritanya di bawah air bening itu saya melihat bayang-bayang hijau panjang. Saya pikir itu adalah tangkai dari daun pisang hanyut. Maklum di sekitar tepi batang agam banyak ditumbuhi batang pisang. Seseorang mengambil daunnya lalu membuang tangkainya ke sungai.
Hanya ketika tangan saya sudah mulai menyentuh batang pisang itu mulai meliuk-liuk seperti cacing. Eh dia juga bisa memutar membuat lingkaran untuk selanjutnya melesat dari sana. Seketika gerakan itu tak hanya membuat saya terkejut setengah mati, ia membuat juga membuat kawan-kawan saya lari pontang-panting. Saya pun ikut lari menyusul mereka. Nah sejak itu phobia saya terhadap ular tumbuh dengan subur.
- Baca di sini tentang: Mengenal Ular Lebih Dekat
Sungai Batang Agam Kini
Tapi Batang Agam sekarang telah bertransformasi. Sudah tidak seindah cerita saya di atas. Pencemaran membuatnya amat buruk. Pulang kampung kemarin cukup lama saya termenung di Pakok’an. Seribu rasa campur aduk memandangi airnya yang coklat keruh. Hati saya sedikit rontok memandang ketika airnya jatuh mengeluarkan busa. Pencemaran air batang agam rupanya sedemikian parah ternyata. Ini juga jadi penyebab matinya industri pembibitan ikan mas di Kanagarian Magek. Di masa lalu kampung kelahiran saya ini pernah berjaya dengan peternakan anak ikan. Saking terkenalnya sebagai tempat penjualan bibit ikan sampai lahir olok-olok kalau “Orang Magek itu tukang jual anak”…Anak ikan maksudnya.
“We generate our own environment. We get exactly what we deserve. How can we resent a life we’ve created ourselves? Who’s to blame, who’s to credit but us? Who can change it, anytime we wish, but us?” Richard Bach
Kutipan dari Richard Bach membuat merenung lagi. Manusia yang merusak Sungai Batang Agam. Dan manusia pulalah yang bertanggung jawab mengembalikannya ke kondisi semula. Tapi bagaimana caranya? Semoga para pemangku kepentingan di sana menemukan jalan.
Bagaimana dengan dirimu temans? Apakah juga pernah jadi saksi sejarah berubahnya sebuah lingkungan?