Temans masih ingat pelajaran sejarah SD tentang Wali Songo, penyebar agama Islam di Jawa ? WALIYULLAH (kekasih Allah) tersebut adalah : Syaikh Maulana Ibrahim, Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan Giri), Raden Magnum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Qasim (Sunan Derajat), Raden Ja’far Shadiq (Sunan Kudus), Raden Sahid (Sunan Kalijaga), Raden Umar Said (Sunan Muria) dan Sayyid Syarif Hidayatullah (sunan Gunung Jati).
Apa Wali Sanga itu?
Rupanya dulu saya tidak menyimak pelajaran sejarah denga baik. Gak aneh jadi tak tahu bahwa refrensi Wali Sanga ternyata pada institusi, semacam persatuan Muballigh yang tugasnya menyebarkan agama Islam. Dewan ini yang mengangkat sembilan orang wali sebagai pemimpin pergerakan di tanah Jawa. Apa bila satu wali wafat diganti oleh wali berikutnya. Jadi wali itu banyak sekali jumlahnya, tidak cuma sembilan seperti yang saya yakini selama ini. Yang terkenal di masyarakat dan makamnya sering diziarahi memang cuma sembilan orang yang diatas. Itupun keputusan dari dewan Wali Sanga.
Pantasan saya pernah puyeng mikiran jalan ceritanya. Misalnya, antara Maulana Malik Ibrahim sampai Sunan Gunung Jati ada rentang waktu cukup lama. Nah bagaimana cara masyarakat mengetahui bahwa seorang wali telah hadir di tengah mereka. Siapa yang menetapkan pertama kali ada wali lagi setelah yang lalu dan dengan cara apa? Kalau Sunan Gunung Jati memang raja. Maksudnya pendiri kerajaan Pakungwati yang jadi cikal Kasepuhan Cirebon itu takan kesulitan disebut sebagai wali. Bagaimana yang lain? Apakah cukup dengan punya ilmu dan bakat kepemimpina khusus secara otomasi akan dianggap sebagai wali? Dan mengapa cuma sembilan?
Oh rupanya institusi Wali Sanga lah yang berperan dalam hal itu.
Akulturasi Budaya
Yang terkenal dari Wali Sanga adalah mereka tidak menyebarkan agama dengan paksa. Pada masa-masa kehidupan para wali ini (sekitar 1400-1600-an M) Hindu dan Budha adalah agama mayoritas masyarakat. Maka dalam menginduksi ajaran baru agar diterima, mereka tidak menghapus budaya, tidak berperang, tidak mengkafirkan orang, melainkan masuk melalui kebudayaan yang dilakoni masyarakat sehari-hari. Akulturasi budaya bahasa kerennya 🙂
Ohya akulturasi kebudayaan adalah pertemuan dua atau lebih budaya akibat interaksi lalu membentuk budaya baru yang original. Kebudayaan Indonesia contoh bagus dari akulturasi. Indonesia adalah melting pot dari tradisi hindu, budha, kristen, dan Islam. Sementara bangsa-bangsa yang mempengaruhi kita datang dari Asia sendiri maupun Eropa.
Masjid Menara Kudus sebagai Contoh Akulturasi Budaya
Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke Kudus dan mampir ke Masjid Al Aqsa yang lebih terkenal sebagai Masjid Menara Kudus. Di sebelah Masjid yang peninggalan Sunan Kudus ini ada menara setinggi 18 yang dibangun tahun 1687. Rupanya mirip candi Hindu. Terbuat dari bata merah, berundak tanpa semen, pinggangnya bercawat aneka keramik dari Vietnam, ada frame dinding yang menonjol yang mirip relif di candi Prambanan dan Borobudur. Dari menara inilah Masjid Menara Kudus mengambil namanya.
Tiap kali masuk ramadhan, dulu Sunan Kudus memberi tahu masyarakat dengan selalu naik keatas menara ini dengan memukul bedug. Bunyinya Dang..Dang…yang melahirkan tradisi Dandangan yang masih hidup di Kudus sampai sekarang.
Penghargaan terhadap kepercayaan Hindu juga ditandai dalam tradisi Buka Luwur (pergantian kelambu makam Sunan Kudus) yang dilakukan tiap tanggal 10 Suro (10 Muhharam). Karena orang Hindu tak makan daging sapi, dalam acara ini disajikan nasi Jangkrik, ditaruh dalam besek bambu dan diberi sepotong daging kerbau.
Masih ada yang ingat pelajaran sejarah SD, kawans?
Salam,
–Evi