Anak singkong panggilan berkonotasi kesedihan. Setidak begitu lah pendapat saya kalau ingat cerita Nenek tentang singkong. Sebab tiap kali bersentuhan dengan ubi kayu nenek ini selalu mengulang cerita yang sama, cerita kesulitan ekonomi masa lalu mereka. Begitu pula ibu karena menjalani pengalaman yang sama sepertinya kesedihan nenek beliau teruskan.
Untung lah saya walau pantas disebut anak singkong tak punya nada minor dengan ubi berkulit tebal ini. Malah sangat menyukai rebusan daunnya. Dimakan dengan cabe hijau mantafff. Namun tiap kali menikmati keripik singkong  atau singkong rebus, tak terhindarkan jadi ingat pada dua wanita perkasa yang mencintai saya ini.
Bahan makanan anak singkong?
Manihot Esculenta ini mudah tumbuh di tanah Sumatera Barat yang subur. Tancapkan saja batangnya di tanah dapat tumbuh. Menurut Mbak Prih, sahabat saya, pada 6-9 bulan kemudian bisa dipanen. Juga menurut Ibu yang mengeluti pertanian di Salatiga ini, singkong untuk tepung dipanen pada umur 8-10 bulan. Panjang umbinya bisa mencapai 50-80 cm dengan diameter 2-3 cm. Tak perlu juga kebun khusus. Dipekarangan, di tanggul atau di pematang sawah yang gembur. Asal dapat hujan serta cahaya matahari yang cukup, tanaman yang dibawa Portugis ke Indonesia ini akan senang hati memberikan umbinya. Dibalut kulit ari kecoklatan, kemudian dilapisi selaput lebih tebal warna pink, baru tampak isinya yang putih kekuningan. Singkong mentah bisa dimakan. Dulu sebagai anak singkong di kampung saya sering menikmatinya. Rasanya sedikit manis. Tapi ada pula yang pahit, tergantung jenis pohonnya.
Dikampung saya produksi singkong berlimpah. Mungkin kemudahan itulah mengapa sumber karbohidrat ini “difitnah” sebagai makanan orang miskin.
Untuk Membesarkan Anak Singkong
Sewaktu nenek membesarkan anak-anaknya hanya singkong yang berlimpah di kebun mereka. Maka ketela kayu itu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk diolah jadi aneka makanan. Direbus untuk mengganti nasi. Dikeringkan lalu digoreng balado untuk lauk. Daunnya untuk sayur.
Suatu hari ketika memasak keripik singkong-ikan teri untuk bekal Om saya yang kost dan sekolah di Bukittinggi, kucluk-kucluk,  nongollah teman nenek di pintu dapur. Entah hari itu si biang gossip emang gembira atau sedang bermasalah dengan keluarganya, kok tiba-tiba dia ngomong begini (tentu pakai bahasa Padang): ” Singkong lagi-singkong lagi!… Duh tambah bodoh saja kalian dibuatnya…”
Gubrak!
Tak diceritakan apakah ada perang sesudah itu. Namun berkaca pada kisah yang selalu diulang, tampak kalau nenek saya trauma banget dengan perkataan temannya itu.Singkong telah mengenyangkan perut anak-anaknya tapi juga membuat dia merasa sangat miskin.
Kok Bisa Begitu?
Nah sekarang saya heran apa sih dosanya kok sampai segitu rendahnya posisi ketela pohon ini dalam rantai makanan kita?
Padahal singkong memiliki kandungan kalori, protein, lemak, hidrat arang, kalsium, fosfor, Vitamin B dan C, juga amilum. Dengan kata lain kalau sebagai sumber tenaga dan mengenyangkan singkong tak kalah dengan nasi.
Adakah teman-teman tahu apa dibelakang alasan mengapa kalau orang makan tiwul atau cuma singkong rebus disuatu desa, terus desanya dianggap miskin?
Salam,
— Evi