104 tahun sejak pendirian Budi Utomo, apakah semangat Hari Kebangkitan Nasional masih relavan bagi rakyat Indonesia? Tentu masih! Hanya saja mungkin konteks dan cara mengapreasiasi yang berbeda. Semangat untuk terbebas dari penjajahan bangsa asing sudah lewat. Tinggal sekarang bagaimana membangkitkan semangat dalam mengisi kemerdekaan. Bagaimana rakyat sejahtera dan kita duduk sejajar serta bermartabat bersama negara-negara maju. Cara yang ditempuh pasti berbeda dengan yang dilakukan oleh Dr. Sutomo dkk pada tahun 1928 .
Dan kita sudah merdeka hampir 67 tahun. Namun transformasi bangsa masih lambat, beragam masalah tetap menghinggapi negara Pancasila ini. Korupsi, kemiskinan, politik, efek pasar bebas merupakan empat hal yang membuat Indonesia berjalan terseok. Jadi bila ingin membangun semangat kebangkitan, ini lah ladang subur, lakukan dari sektor mana saja!
Beli Indonesia!
Karena bisnis kami mengharuskan sering ke kampung, dengan mata sendiri sering melihat bagaimana warung yang berdiri dekat jalan becek menjual buah impor. Memandangi deretan jeruk, apel dan pear berwarna cerah dan segar itu digelar di warung sederhana, sungguh bikin hati terenyuh. Sudah demikian terpuruknya kah pertanian kita sehingga orang kampung hanya sanggup membeli buah impor?
Sudah jadi rahasia umum bahwa di tanah air tercinta ini barang tekstil dan buah impor lebih murah ketimbang lokal. Harga sekilo apel washington lebih murah dari apel malang. Begitu pula jeruk mandari lebih murah dari jeruk garut atau pontianak. Padahal buah impor tersebut jauh lebih menarik dan rasanya juga lebih manis. Karena faktor harga ini tak bisa disalahkan kalau orang akhirnya lebih suka memilih buah impor ketimbang lokal.
Dan jadi rahasia umum pula bahwa tempe dan tahu yang dianggap sebagai makanan rakyat karena murah tapi bergizi, bahan bakunya diimpor. Menurut artikel yang saya kutip disini : Pangan utama seperti beras yang di tahun 2011 diimpor sejumlah 2,5 juta ton naik dari tahun 2010 sejumlah 1,8 juta ton. Sementara jagung diimpor sejumlah 3 juta ton, kedelai 2,08 juta ton, ubi kayu 4,37 juta ton, dan garam 1,8 juta ton adalah deretan angka impor yang terus mengancam kedaulatan pangan bangsa. Yang bikin kepala saya tambah nyut-nyut, singkong saja diimpor! Bayangkan!
So apa yang terjadi?
Jargon bahwa tongkat kayu bisa jadi tanaman sekarang lebih sebagai ikon ironis ketimbang sebait lagu yang mengagumi kesuburan tanah kita. Kenapa sih jutaan hekatar lahan hijau tak sanggup menumbuhkan buah yang minimal harganya setara dengan buah impor? Mengapa pula produksi dari sawah-sawah kita tak cukup memberi makan seluruh rakyat yang membuat pemerintah mengimpor beras dari Thailand?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada akhirnya membentur pada realita bahwa ada sesuatu yang salah dalam tata kelola negara, khususnya pertanian. Kita bisa menunjuk hidung institusi tertentu. Atau menyalahkan kebijakan yang diambil pemerintah dimasa lalu. Seperti pro kepada importir ketimbang melindungi petani sendiri. Tapi bagaimanapun kerasnya kita mengkritisi, fakta tetap tergeletak, petani terutama petani kecil semakin miskin. Sementara nasib konsumsi kita diserahkan pada produk yang kita tidak tahu dari mana asal-usulnya.
Untuk Teman-Teman Pikirkan
Ngomong-ngomong, emang ada yang tahu sebutir jeruk Mandarin manis yang diberikan pada anak-anak kita datang dari kebun mana? Bagaiman treatmentnya? Apakah ditanam seperti halnya di Indonesia atau bibitnya direkayasa secara genetis? Bagi siapa saja yang doyan buah impor yang segar dan krunyus2 itu wajib mempertanyakan masalah ini. Dari kebun dan sampai ke negara kita buah-buah tersebut membutuhkan waktu. Lah kok gak busuk ya walau sudah lama di perjalanan? Demi kesehatan anak-cucu dan kesejahteraan petani kita, tolong sesekali pertanyakan fakta itu teman-teman
S O L U S I
Berpihaklah Kepada Produsen dan Petani Kita
Beberapa produk seperti hasil teknologi tinggi yang diimpor masih kita butuhkan. Tapi makanan sebetulnya tak perlu diimpor. Kita memiliki sumber daya alam berlimpah. Tapi pemerintah memang harus melakukan sesuatu. Seperti untuk menggugah kesadaran masyarakat agar berpaling kembali pada buah lokal, misalnya, bisa di mulai dengan pembentukan fasilitator. Dilakukan oleh Departemen Pertanian dengan membentuk kelompok agen perubahan. Mereka ini menyediakan sumber daya, imformasi dan konsultasi. kemudian di sebar ke seluruh Indonesia dengan sasaran kelompok-kelompok tani.
Re-edukasi
Petani pasti juga ingin menghasilkan panen berlimpah, hasil bagus dan diterima selera pasar. Tapi sering kali keterbatasan pengetahuanlah yang membuat mereka tak mampu Melakukannya. Tugas agen perubahan disini adalah mengintrodusi suatu keterampilan, memanfaatkan inovasi pertanian atau mengenalkan teknologi yang sudah terbukti berhasil dari suatu tempat.
Keberlangsungan usaha mereka hanya dapat terjadi jika kita mendukung mereka dengan mulai membentuk sikap mengedepankan pangan lokal ketimbang impor.
Bagaimana pendapat teman-teman sekalian?
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Indonesia Bangkit di BlogCamp