Pergelutan saya dengan gula aren adalah pergelutan nasib yang membelok sesuka hati. Bercita-cita jadi dokter atau wanita executive tapi akhirnya terdampar sebagai pengusaha gula aren. Ini adalah cerita kenangan tentang pohon aren angker di belakang rumah kami di kampung halaman.Â
Masa laluku dengan dengan enau (Anau dalam bahasa Minang) hanya sebatang pohon aren di belakang rumah. Tumbuh subur di bibir tebing, di tepi sawah dan terpapar matahari sepanjang tahun.Tak jauh dari sana terdapat ladang yang lebat oleh semak belukar. Itu lah pohon aren yang menghantui masa kecil saya.
Pohon Aren Angker dan Kenangan Kepada Nenek
Iya diam-diam saya menyimpan rasa takut terhadap pohon itu. Fisiknya tak menarik. Batangnya ditempeli serat hitam yang digunakan untuk membuat sapu ijuk. Nah si ijuk ini merekat dengan kokoh pada ketiak batang aren. Walau pelepah batang sudah lama mati, ijuk-ijuk menetap, bersemburan disana-sani, menimbulkan kesan angker, sulit di dekati.
Baca juga : Pantai Marina Lampung Seksi atau Angker?
Pohon aren itu berubah jadi tempat favorite kawanan burung pipit. Mereka datang berteduh setelah kenyang mencuri padi di sawah, di bawahnya. Ada yang betah membuat sarang dan beranak pinak di sana.
Persinggahan koloni burung pipit itu menyisakan bermacam bibit. Maka tumbuh lah aneka suplir, anggrek dan tumbuh2an liar lainnya. Ilmuwan mengelompokan mereka sebagai benalu — benalu satu term yang sangat kejam bila kalau diaplikan ke manusia— sebab menghisap makanan dari pokok tanaman yang di tumpanginya.
Jadi bila terdapat satu pohon berkesan angker dia lah batang pohon aren yang tak terurus. Tumbuh di belakang rumah kami.
Baca juga : Foto Lama Nenek Saya
Tidak di dekati, tidak pernah di silau, dan angker. Bertahun-tahun menerima jatuhan reranting dan daun kering. Tentu saja area di bawah pohon aren kaya humus.
Musim hujan, banyak cendawan merekah dari bawah tanah. Dan Nenek diam-diam suka pergi ke sana. Biasanya menjelang magrib, saat orang-orang sudah berangkat ke surau atau mengambil air wudhu dan naik ke rumah. Dia meminta kami ( 3 orang cucu ketika itu) tidak memberi tahu siapapun kemana tujuannya.
Baca juga : Pohon Aren dan Manfaatnya
Nenek Kawin Dengan Orang Bunian
Mulanya tidak ngeh. Otak polos alias jarang terpapar informasi selalu di penuhi misteri. Ditambah imajinasi sedikit, jadilah cerita aneh-aneh.
Maka kepergian nenek yang diselimuti aneka macam hush..hush..itu aku pikir pasti soal asmara. Di masa itu pembicaraan setentang relasi lelaki-perempuan tabu. Kalau pun perlu, dilakukan dalam ruang tertutup. Bahkan dinding juga tak boleh bertelinga, mulut terkunci dan menggunakan bahasa hush..hush…..
Baca juga : Sungai Batang Agam Nagari Magek Sebuah Kenangan
Jadi kepergian nenek pasti dalam rangka itu. Apa lagi kakek sudah lama meninggal. Sebagian besar anaknya merantau. Satu-satunya alasannya mengapa dia tinggal di kampung untuk menjaga kami bertiga.
Nenek sudah tua dan galak pula. Aku pikir hanya orang Bunian yang tertarik padanya. Dia tidak mungkin pacaran dengan Sutan Sidi dari nagari antah berantah yang lewat di depan rumah kami tiap Kamis. Sutan Sidi datang ke Kasiak, kampung tetangga yang terkenal sebagai produsen anak-anak ikan mas.
Sekarang saya berfikir bahwa karakter nenek yang selalu menguasai medan itu hanya ditandingi oleh Margareth Tatcher, bekas PM Inggris.
Baca juga : Tengkleng Mbok Galak Solo
Misteri Pohon Aren Angker dan Gulai Cendawan
Dalam khasanah misteri Minangkabau terdapat beberapa karakter. Dan nenek sering banget bercerita tiap menjelang tidur. Mereka adalah:
- Cindaku sebangsa jin yang tidak punya selokan diatas bibir.
- Si Bigau punya tumit menghadap ke depan, jadi berjalannya seperti orang mundur. Mahkluk bertubuh mungil ini berkelana dari hutan ke hutan bertemankan babi yang juga kendaraannya.
- Orang Bunian di sebut juga hantu aru-aru. Makhluk halus tidak berwujud. Identifikasinya lewat suara yang konon mirip suara perempuan cantik. Mereka tinggal di puncak pohon besar atau gua-gua. Orang yang terkena pengaruh akan ikut kemana saja suara itu menuntun. Tahu-tahu sudah tersesat di rimba besar dan tidak tahu lagi arah pulang. Tidak ada penjelasan mengapa orang Bunian bersusah payah menyesatkan manusia sedang makanan mereka sendiri cukup beradat yaitu telor semut, ulat dan belatung.
Esok paginya pernikahan Nenek dengan orang Bunian menguap bersama terciumnya aroma enak dari dapur. Melongok ke dalam terlihat sebuah belanga tanah liat sedang terjerang di tungku. Api yang meretaskan ranting-ranting kering menjalarkan asap tipis keatas, menimbulkan rasa hangat di pagi bergerimis.
Oh ternyata nenekku yang baik sedang membuat gulai cendawan.Dengan khusuknya dia menimba-nimba kuah santan dengan sendok besar terbuat dari tempurung kelapa bertangkai (sanduak). Maksudnya agar santan tidak pecah sebelum mendidih.
Sementara dari kandang terdengar suara gelisah dari bebek dan ayam minta segera di bukakan pintu. Pertanyaanku tentang dimana menemukan jamur itu di jawab Nenek dengan perintah agar selekasnya membawa menggiring para itik ke sawah, memungut telurnya,  lalu mengangkat nasi di periuk dan menyiapkan piring untuk sarapan. Biasanya sih prestasi terbaikku hanya mengerjakan satu perintah saja yaitu yang paling ringan.
Tapi tanpa dijelaskan pun aku tahu dari mana asal gulai cendawnnya. Dari mana lagi kalau tidak dari bawah pohon aren angker yang tumbuh di belakang rumah.
Berkunjung ke Pusat Harta Karun
Suatu senja saya dapat kehormatan mengunjungi sumber harta karun di bawah pohon enau angker itu. Di tepi rimba tempat bersemayamnya Cindaku, Si Bigau dan orang Bunian. Membayangkan mereka tatkala menyuruk di bawah semak berduri, dalam remang senja, membuat jantungku berdentum-dentum. Mungkin seperti tetabuhan genderang perang Indian Navajo. Bulu- bulu halus di seluruh tubuh meremang.
Udara lembab, tanah yang lengket, bau basah dan aroma bunga dari perdu liar yang terinjak pecah di udara. Tanganku mencengkeram ujung kain nenek dengan erat.
Meskipun mungkin tidak lebih dari pada 3 menit, jalan terasa amat panjang. Seperti menelusuri lorong masuk ke perut bumi., tersuruk dituntun pikiran sendiri. Bagaimana kalau akhirnya jalan itu tidak membawa kami ke bawah pohon aren tapi ke kampung para Bunian?
Hayaaaahhhhhh…
Untung lah diujung perjalanan, saya bertemu ruang terbuka. Sempit tapi cukup lebar untuk membuat mata terbelalak. Diantara tumpukan daun dan ranting rapuh, mencuat lah puluhan bulatan payung warna broken white yang lembut.
Di bawah instruksi nenek, saya memilih mana jamur yang layak panen dan mana yang harus menuggu besok. Mencabutnya juga harus hati-hati, tidak boleh patah, sebab akar yang tertinggal akan membusuk dan menghalangi tunas baru muncul di musim hujan berikutnya.
Malamnya bermimpi bertemu sejumlah orang bunian yang menyebut diri mereka bidadari. Tidak seperti dugaanku, ternyata mereka sekelompok orang-orang ramah berpakaian putih-putih. Mereka mengajak melihat-lihat kampung yang ternyata tidak pula berbeda dengan kampungku sendiri. Diajak mengunjungi surau dan melihat anak-anak sebayaku mengaji. Samar-samar terdengar azan di kejauhan. Lalu suara derit pintu kayu terbuka. Ah ternyata kampung mereka juga dingin dan nenek mereka juga suka bangun subuh-subuh, pikirku.
@eviindrawanto