Sungai adalah sumber air minum segar yang berharga bagi orang di seluruh dunia.Habitat air tawar merupakan salah satu keanekaragaman hayati terkaya di dunia hidup di sungai. Dan sungai merupakan ekosistem yang penting dan hidup bagi banyak spesies. Begitu pun banyak orang bergantung pada sungai untuk mata pencaharian mereka. Itu saya sadari pada suatu sore ketika punya kesempatan mengamati berbagai kesibukan di tepi Sungai Cisadane Tangerang.
Iya, saya punya hubungan khusus dengan sungai. Air yang mengalir ditengahnya menimbulkan perasaan damai. Mungkin juga karena sering bermimpi tentangnya. Atau masa kecil banyak bermain di tepinya. Pokoknya sungai bagi saya tempat yang tepat untuk merenungkan sesuatu.
Asyik membayangkan bahwa sungai adalah rekahan-rekahan di bumi. Berhulu di laut dan bermuara di laut pula. Melintas banyak negeri, mengabaikan batasan geografis dan politis. Kalau saja airnya bisa bercerita, pasti banyak banget yang bisa mereka kabarkan kepada kita.
Menikmati Sore di Tepi Sungai Cisadane Tangerang
Jadi Sabtu sore kemarin, untuk yang kesekian kali, saya ngajakin mantan pacar main ke tepi Sungai Cisadane Tangerang. Yang airnya berasal dari Gunung Salak yang dianggap penuh misteri itu dan melintasi kota Tangerang . Biasanya trip ke sana suka disambi pekarjaan. Namun Sabtu sore itu full menikmati roti panggang dari sebuah warung, mengamati dari dekat denyut kehidupan yang berlangsung di tepi maupun tengahnya.
Sungai Sebagai Sumber Kehidupan
Sungai Cisadane Tangerang, seperti juga sungai-sungai lain di Indonesia menampung banyak beban. Ia diharapkan sebagai sumber air minum segar, untuk mata pencaharian masyarakat dan untuk alam.
Sore itu saya mengamati sungai sebagai sumper ekonomi. Salah satunya sebagai sarana transportasi. Seperti juga peninggalan sejarahnya, sungai ini pernah dimanfaatkan para pedagang Tionghoa untuk berlayar masuk ke pedalaman Tangerang. Saat ini penduduk Tangerang yang hidup di seberang sungai memanfaatkan jasa ojek perahu untuk menyeberang ke Kota Tangerang.
Sore itu beberapa orang asyik menggais perut Cisadane untuk mencari cacing. Beberapa diantaranya berhasil membawa tangkapan, cacing-cacing gemuk yang menggeliat dalam kaleng bekas biscuit.
Tidak jauh, tiga bapak saling mendukung mencari ikan. Dua orang mendayung dan seorang menyebar jala. Walau tampak ahli, beberapa kali lemparan tak satupun ikan yang nyangkut pada jalanya. Entah para ikan bersembunyi di mana. Atau memang Sungai Cisadane Tangerang tidak lagi bisa memberi karena terlalu sarat beban. Air keruh, pencemaran zat kimia dan sampah.
Dalam hati saya berharap, tiga orang bapak itu hanya aktivitas plesiran. Bukan kegiatan ekonomi yang serius mencari ikan hendak di bawa pulang.
Tempat Buang Sampah dan Bersih-Bersih
Pemkot Tangerang sejak beberapa tahun ini sudah membenahi kali Cisadane. Mengeruk dasar sungai, menjaring sampah, dan mengedukasi masyarakat sekitar agar menjaga kebersihan lingkungan.
Tampaknya, untuk mereka yang tak peduli atau malas banget berpikir, kelihatannya tetap saja Sungai Cisadane Tangerang ini tempat buang sampah murah-meriah. Sepertinya begitu pun tentang tempat asik untuk membuang limbah industri.
Untung di sepanjang Cisadane saya belum pernah melihat kakus di tepinya. Seperti yang saya lihat di Sungai Martapura saat eksplorasi Pasar Terapung Lok Baintan.
Air Cisadane berlumpur dan berwarna coklat. Itu akibat ada kerusakan di hulunya dan juga kegiatan menambang pasir. Tapi dua ibu dan seorang anak asyik saja menjalan kegiatan bersih-bersih. Tidak tahu apakah air ini cukup bersih untuk membilas cucian, tapi berenang saya kira tidak terlalu baik bagi kesehatan anak ini 🙁
Baca juga:
- Festival Cisadane, Pesta Rakyat Tangerang
- Pabrik Gula Semut Tangerang, Cerita Bisnis
- Wisata Kuliner di Tangerang
Kalender Wisata Tahunan Pemkot Tangerang – Sejarah Festival Cisadane
Kota Tangerang punya agenda wisata tahunan yakni Festival Cisadane. Suatu kegiatan yang dipandang mampu mengintegrasikan budaya lokal Tangerang. Acara puncaknya adalah lomba Perahu Naga.
Awalnya walau tidak disebut Festival Cisadane tapi sudah berlangsung sejak tahun 1700-an. Itu dimulai dari perayaan hari raya Peh Cun yang jatuh pada tanggal 5 bulan 5, dalam kalender Tionghoa. Sedang dalam kalender Masehi, jatuh pada bulan Juni.
Hari raya Pehcun diawali dengan berkumpulnya masyarakat Tionghoa Tangerang di tepi Kali Cisadane. Dilanjutkan sembahyang di klenteng terdekat, lalu rama-ramai naik perahu naga mengarungi sungai. Dari dalam kapal warga memberi makan sungai dengan menaburkan bunga dan bacang.
Acara dilanjutkan dengan pembakaran naga merah dan hijau, untuk kemudian abunya ditaburkan ke sungai.
Ritual juga dilakukan dengan atraksi menegakkan telur, yang dilakukan di waktu tertentu yang disebut Toan Ngo. Waktu ini dipercaya mulai pukul 11.00 WIB hingga 13.00 WIB. Puncaknya, ritual melepaskan bebek ke sungai Cisadane Tangerang dilaksanakan sebagai lambang membebaskan kesialan.
Setelah lebih dari 80 tahun berjalan, tepatnya tahun 1993, pemerintah kota Tangerang kemudian menggabungkan perayaan ini dengan kebudayaan lain yang ada di Tangerang yang sekarang kita kenal sebagai Festival Cisadane.
Menarik ya cerita dari tepi Sungai Cisadane Tangerang ini?