Setiap Juli-Agustus, rakyat Tangerang akan pesta. Lingkungan di sekitar tepi Sungai Cisadane Tangerang Kota dihias lebih indah. Panggung dan tenda di pasang. Tepi sungai di bersihkan. Di bantarannya diselenggarakan pula pameran dagang yang diikuti oleh UMKM se Banten. Iya setiap tahun Pemda membuat even Festival Cisadane, selalu semarak dan padat pengunjung.
Bila teman-teman piknik ke Tangerang, senggang dan berniat mengisi liburan pendek, coba datang sekitar bulan Juli-Agustus. Apa lagi yang berminat hunting photo budaya, pasti tak kecewa. Materi berlimpah ruah.
Asal-Usul Festival Peh Cun
Festival Cisadane yang diselenggarakan di Tangerang ini disebut juga Festival Peh Cun. Dalam Bahasa Tionghoa, Peh Cun berarti mendayung perahu naga. Jadi dalam pesta ini acara utamanya lomba mendayung perahu naga. Diikuti atlit dayung se-jabodetabek.
Lomba ini menarik. Beberapa orang atlik menaiki perahu panjang berhias kepala dan ekor naga. Mereka adu cepat sampai ke garis finish dengan mendayung sambil berteriak-teriak berirama. Di ujung perahu pemimpin mereka tak kalah membara memompa semangat sambil terus memukul gendang.
Festival Peh Cun di Sungai Cisadane ini berasal dari tradisi rakyat Tionghoa yang sudah berusia ribuan tahun. Berasal dari kisah seorang negarawan bernama Qu Yuan, menteri dari negara Chu, yang hidup pada Zaman Negara Berperang (Warring States Period).
Baca juga : Kesibukan di Sungai Cisadane
Sebenarnya Qu Yuan adalah pejabat negara yang jujur, tapi difitnah oleh pejabat korup sampai ia kemudian diusir dari istana Chu oleh raja.
Dipenuhi kesedihan Qu Yuan berkelana di luar istana sampai akhirnya ia tak tahan akhirnya menceburkan diri ke Sungai Miluo.
Para pengikut Qu Yuan tentu tak terima begitu saja pemimpin gagah berani mereka mati. Dengan menggunakan perahu naga, berhari-hari mereka terus mencarinya di sungai. Sambil melemparkan Bakcang untuk membujuk setan air agar tidak memangsa tubuh Qu Yuan. Tapi tubuh bekas menteri ini tidak pernah ditemukan.
Jadi itu lah pangkal dari Festival Peh Cun dengan makanan khasnya Bakcang yang diselenggarakan tiap tahun di tepi Cisadane.
Baca juga : Makan Meja – Budaya Tionghoa
Pesta Seni dan Budaya Rakyat Tangerang
Menurut saya even ini adalah pesta seni dan budaya rakyat Tangerang. Disamping lomba perahu naga, pameran budaya, pertunjukan kesenian tradisional juga berlangsung setiap hari.
Tangerang memang kental dengan budaya peranakan Tionghoa-Betawi-Jawa. Kota ini juga tempat tinggal yang nyaman bagi para pendatang dari seluruh etnis di Indonesia. Begitu pun bagi warga negara asing.
Inilah yang coba di tampilkan dalam pesta rakyat Tangerang ini. Ada pentas tarian cokek dengan musik gambang kromongnya. Dangdut tentu saja tak ketinggalan. Terus kita akan dapat gambaran mikro dari Kabupaten Tangerang karena semua instansi, sekolah dan industri kecilnya turut di pamerkan. Dinas Budaya dan Pariwisata Tangerang serius menggarap agenda tahunan ini.
Festival Akulturasi Budaya di Tepi Cisadane
Festival Cisadane berawal dari perayaan Peh Cun di Tangerang. Di gagas pertama tahun 1993 oleh tokoh-tokoh Tionghoa dari Wihara Boen Tek Bio. Perayaan rasa syukur yang dibawa dari Tiongkok ini sudah berumur 2300 tahun. Di Cina sendiri perayaan ini sudah tak ada, namun bertahan pada warga Tionghoa Indonesia.
Baca juga : Wali Sanga, Akulturasi Budaya dan Menara Kudus
Warga Cibeng (cina Benteng) yang tinggal dekat sungai Cisadane, mungkin, awalnya berniat memperkenalkan bagaimana bentuk budaya mereka telah berakulturasi dengan budaya Indonesia. Namun seiring perkembangan animo masyarakat, festival peh cun berganti jadi festival cisadane.
Tapi Festival Peh Cun tidak melulu berbau Tionghoa. Kalau dulu pembukaan ditandai pelepasan bebek ke sungai yang berasal dari tradisi Fang Sheng, tahun ini dengan rampak bedug, tradisi Islam. Mungkin ini maksud dari akulturasi sesungguhnya, berbauran budaya Nusantara di Tangerang membentuk identitas baru.
Baca juga : Pasar Lama Tangerang yang Unik
Gaya Citizen Journalism
Langkah kanan untuk saya karena datang sore guna menghindari panas yang menyengat siang harinya. Eh tahunya upacara pembukaan memang dilangsungkan sore. Ya lah kalau begitu. Sampai di lokasi saya bergegas membaurkan diri ke dalam gerombolan orang-orang memegang camera. Seperti wartawan saja gayanya. Jepret sana-jepret sini. Panitia sepertinya juga menganggap saya dari media.
Buktinya ketika penonton dan orang-orang yg gak berkepentingan berdiri dekat panggung di usir dari situ, saya dibiarkan saja. Ini lah salah keajaiban memegang DSLR.
Wisata, Bisnis dan Ekonomi di Festival Cisadane
Saya pikir festival cisadane tahun lalu tak semeriah ini. Mungkin ini persepsi tak berdasar. Tapi tahun ini rasanya emang beda. Ratusan orang menyebut di pelataran Sungai. Selain pengisi acara, wartawan, pebisnis yang ikut pameran dagang, instansi pemerintah, pengunjung dan pedagang kaki lima bertemu membentuk pasar di bibir sungai.
Kagum juga pada pemerintahan Kabupaten Tangerang. Bantaran Cisadane resik dan hijau. Airnya bersih. Jadi wajar bila suasana itu mengundang orang bergembira. Ada keluarga yang tampak niat banget wisatanya. Dengan menggelar tikar di bawah pohon seri tampak bahagia menikmati makanan yang dibeli dari para pedagang terdekat. Untunglah di Festival Cisadane ini pengunjung dan pedagang tak berebut tempat. Semua tertata rapi.
Festival Cisadane adalah pesta rakyat. Pesta rakyat yang jujur menurut saya! Untuk pengunjung acara ini adalah tempat bergembira, keluar sejenak dari rutinitas sambil mengenal tradisi Tangerang. Bagi pedagang kecil ini juga kesempatan mengais rejeki. Mengumpulan ribuan demi ribuan rupiah untuk dibawa pulang. Jika sehari-hari mereka keliling kampung dengan pikulan, di festival ini tinggal duduk menunggu pelanggan.
Minyak Bulus, Penumbuh Bulu dan Abon Kelelawar
Sejak tinggal di Serpong saya teralienasi dengan isi pasar tradisional sesungguhnya. Disini pasar basahpun menyandang kata moderen. Atau mungkin saya emang kurang gaul? Festival Cisadane membuka kenangan pada pasar-pasar di kampung saya dulu.
Jadi surprise menemukan masih ada yang jualan minyak bulus. Saya kira minyak dari kura-kura berpunggung lunak yang didiklaim berkhasiat membesarkan penis dan payudara ini sudah punah. Eh tak tahunya masih banyak. Tertata rapi dalam kemasan botol-botol plastik. Dan si Bapak yang menawarkan penuh canda.
Untung ia tak memakai pengeras suara dalam menceritakan manfaatnya. Tapi tanpa pengeras suarapun pengunjung ramai kok mengelilingi dagangannya. Entah benaran mau beli atau sekedar menonton saja, saya tak tahu.
Minyak bulus satu hal. Hal yang lain, padagang lain menjajakan minyak pemanjang bulu. Dalam satu botol ramuan itu berkhasiat memanjangkan kumis, jambang dan jenggot
Yang mau kuliner ekstrim juga ada, abon biawak atau kelelawar untuk mengobati asma.
Kuliner Tangerang di Festival Cisadane
Tangerang daerah akulturasi dan letaknya sangat berdekatan dengan ibu kota. Maka tak aneh bila dari sisi kuliner tak terlihat istimewa. Semua makanan ciri khas nusantara ada disini. Bakso dan Bakmi ayam yang paling standar. Pempek, kerak telor, cireng, tahu gejrot, bahkan bubur kampiun saya temukan kemarin.
Baca juga : Wisata Kuliner di Tangerang
Sebetulnya Tangerang punya kue khas yang datang dari budaya Tionghoa peranakan. Seperti roti bakso berukuran besar. Isi roti ini daging babi cincang dengan Tang Kwe (labu manis).
Ada lagi kue Doko, seperti kue pisang tapi tanpa pisang. Terus kue Buras Kelapa, semacam lontong tanpa isi yang dimakan dengan cara mencocolkan dalam kelapa parut yang dimasak dengan gula merah. Kemarin kue-kue tersebut tak kelihatan.
Gimana sahabat? Berniat berkunjung tahun depan?
Salam,