Saat remaja saya penggemar berat buku cerita silat. Tak terbatas karya Kho Ping Hoo, cerita silat bergambar seperti karya Gan KL dan Kosasih juga disikat. Apa saja yang ditawarkan kios penyewaan buku yang letaknya tak jauh dari rumah kami, kalau keuangan mengijinkan pasti disewa. Kalaupun uangnya tak mencukupi berbagai upaya saya lakukan agar ransum bacaan lancar tiap hari. Kalau perlu pinjam uang SPP!
Nah saat SMP dua kali saya melakukankan kejahatan itu, “pinjam” duit SPP. Kecanduan terhadap komik ternyata membunuh. Jadi dua bulan berturut-turut uang pinjaman tersebut saya berikan pada kios sewa komik (hebat yak!).
Pada batas akhir pembayaran bulan ke-2, sekolah tentu gatal karena belum dapat penghasilan dari saya. Maka dipanggillah diri ini ke ruang guru BP, ditanyai mengapa belum membayar uang sekolah? Dan saudara-saudara pasti tahu dong bahwa kejahatan harus ditutupi dengan kebohongan? Maka saya katakan pada Bu Guru bahwa Bapak sedang sakit dan ibu cuma ibu rumah tangga, pasti tak punya uang. Ibu itu manggut-manggut, entah percaya entah tidak. Yang jelas saya tak berani menatap matanya.
Sewajarnya dunk bila sang piutang akhirnya menitipkan selembar surat sakti kepada orang tua agar melunasi kewajiban mereka?
Ibu saya macan! Mana berani awak melapor bahwa uang SPP-nya terpakai untuk sewa komik. Perjuangan menghadapi omelan gara-gara siang-malam terus membaca dan ogah membantu pekerjaan rumah saja sudah berat. Masa ditambah pengakuan bahwa saya nunggak uang SPP? Bisa dikuliti ibu tubuh saya nanti.
Dalam ketakutan dan situasi terjepit itu dunia gelap sekali. Saya takut banget pada ibu. Ketimbang disuruh mengaku kayaknya lebih suka bunuh diri.Tapi gimana dong, bolos sekolah juga paling bisa sehari-dua hari. Setelah itu sekolah akan mengirim surat lagi.
Untungnya saya punya teman akrab. Namanya Risna. Kepada Risna lah segala tangis dan ketakutan saya tumpahkan. Kami berdua punya ide minjam dari tetangganya Risna yang kami panggil Om Teguh. Bapak ini baik sekali pada kami berdua, jadi dia pasti mengabulkan. Eh tapi tidak tuh, malah dia menawarkan diri membantu saya mengaku pada ibu. Pintu pertama tertutup!
Kramat Sentiong itu pemukiman padat. Tapi penduduknya tampak jarang masak, mereka lebih suka beli sayur matang. Risna menyarankan agar saya jualan nasi uduk. Kalau pinjam modal pada ibu pasti dikasih. Tapi kapan masak dan jualannya, pagi-pagi kan mesti sekolah?. Ide jualan nasi uduk, lontong dan sayur masak langsung menguap.Pintu ke-2 tertutup tanpa sempat terbuka.
Pintu ke-3 tampak sedikit berpengharapan. Saya menawarkan diri pada Tante Misna yang berprofesi sebagai tukang cuci untuk jadi asistennya. Pagi-pagi sebelum sekolah mengambil cucian dan sore mengantar cucian yang sudah bersih kepada pemiliknya. Tapi waktu terus berjalan, belum sempat mengumpulkan sejumlah uang untuk SPP dua bulan, bulan ke-3 sudah datang.
Sebelum bulan ke-3 pembayaran benar-benar jatuh tempo, tiap hari saya meninggalkan rumah. Tempat penyewaan komik jadi tempat asing. Sekarang rajin berkunjung ke rumah saudara. Kebiasaan bagus orang padang adalah jika saudara berkunjung, pulangnya di kasih ongkos hehehe..Dapat tambahan pula dari uang saku sendiri. Alih-alih naik becak, saya jalan kaki ke sekolah. Selera juga harus di tahan. Walau ngiler banget melihat teman jajan bakso dan menatap dari jauh saja penuh kepedihan, di lakoni demi uang SPP.
Terus saya mempelajari sifat kucing yang amat disayang ibu. Kucing ber warna kuning dan belang putih itu sangat penurut. Maka saya melunakan apa saja yang ada di dalam di hadapan ibu. Minta dikasihani seperti kucing.Sesekali jadi dapat bonus.
Tahu sobat, di detik-detik terakhir sebelum dipanggil ke kantor kepala sekolah, uang yang saya kumpulkan dengan darah dan air mata itu hilang. Iya hilang dari dalam dompet kecil yang saya taruh di bawah kasur. Dompetnya ada tapi uangnya tidak!
Hari itu rasanya benaran ingin bunuh diri. Tapi pakai apa? Baygon? Ih pasti gak enak, pahit lagi. Silet nadi seperti orang patah hati dalam film? Lah melihat mata siletnya saja sudah bergidik? Nabrakin diri ke kereta api yang melintas di pasar Gaplok? Idih gak elite banget sih!
Jadi saudara-saudara, saya meraung saja sekencang-kencangnya, diatas paru-paru untuk meratapi betapa sialnya hobi membaca komik itu. Saya menyumpahi pencurinya agar tak selamat dunia akhirat. Kalau dia adalah saudara akan saya putuskan tali persaudaraan seumur hidup.
Hari itu saya sampai di batas pertahanan. Gak takut lagi ibu mau marah atau tidak. Bayangangan merendahkan diri saat mengumpulkan uang sial itu membuat dunia ini tak berarti apa-apa lagi. Apa lagi kalau cuma omelan ibu. Kecil!
Pintu itu akhirnya Terbuka
Tentu ibu terkejut melihat saya meraung histeris seperti harimau luka. Siapa yang tidak, saya sendiri heran kok pada diri sendiri. And then, she is my mom, the best mom in the world. Setelah tahu duduk masalahnya dia memelukku kencang. Lamaaaa…sekali…Sampai saya sendiri keheranan kok dia bisa memeluk seperti dalam pelem-pelem yah? Lah kemana saja selama ini.
Besoknya uang SPP saya lunas. Sepertinya ibu membobok celengan karena lembaran-lembaran yang saya serahkan pada petugas administrasi banyak yang kusut. Sekalipun terlihat mata ibu juga berisi kepedihan saat memberikan uang tersebut, tapi dia tak pernah mengungkit-ungkit kesalahan saya. Mungkin dia tak ingin menambah penderitaan saya yang sekarang trauma berat terhadap penyewaan buku dan komik hehehe..
Salam,