Hidup yang kompleks tak harus terjadi. Karena susungguhnya hidup itu sederhana. Lahir, tumbuh, berkembang biak, lalu mati. Tapi kehadiran neocortex memampukan kita berimajinasi. Suatu perangkat “membayangkan” yang harusnya sederhana merubah jadi hidup yang kompleks.
Percayakah teman bahwa kompleksitas hidup sesungguh datangnya dari belajar? Ya bahkan kesulitan yang kita hadapi juga datang dari pembelajaran! Tepatnya pendidikan.
Kok bisa begitu?
Cerita Hidup Tarzan dan Gorilla
Ingat kah kawan cerita Tarzan yang tumbuh dalam kelompok gorilla di rimba? Sekalipun dilengkapi kecerdasan manusia, Tarzan hidup sebagaimana gorilla hidup.Gorila tak belajar memenuhi harapan masyarakat. Memetik buah dan langsung memakannya tanpa mencuci. Berjalan untuk melengkapi kaki dengan tangan. Berpindah antar pohon dengan berayun pada akar yang menjuntai.
Tarzan dan teman-teman gorilanya tak pernah mengkuatirkan hari esok. Dapat hari ini makan hari ini. Besok dipikirkan besok. Jadi mereka tak belajar menabung makanan. Hidup yang kompleks itu di luar liga mereka.
Baca juga : Menikah Untuk Bahagia
Gorila mencintai anak-anaknya sudah pasti. Karena cinta merupakan insting hewani dari setiap makhluk hidup. Tapi mereka tidak punya konsep tentang waktu, tentang gaya hidup, tentang nilai-nilai sosial.
Gorilanya juga punya neocortex tapi otak gorila tidak dilengkapi lapisan yang memungkinkan berimajinasi. Selain digunakan dalam mempertahankan hidup, Gorila tidak mendidik anak-anaknya sebagaimana manusia mendidik keturunan mereka. Mereka tidak membebankan harapan kepada anak.
Baca juga : Gula Aren Untuk Penderita Diabetes
Tidak berusaha memasukan mereka ke lembaga pendidikan terbaik dan berjibaku agar bertahan di sana. Bagi Tarzan dan teman-temanya, makan, bertahan hidup dan berketurunan sudah cukup. Setelah semua terpenuhi mereka menjelajah hutan dengan bahagia.
Hidup yang Kompleks berlatar belakang kebutuhan
Berbeda dengan kita yang banyak kebutuhan. Setelah pendidikan anak, kita ingin diakui masyarakat. Punya mobil tak cukup sebagai alat transportasi tapi juga sebagai latar ego. Artinya mobil tak sekedar alat berpindah cepat tapi haruslah yang bagus..
Kawan-kawan kompleksitas hidup tidak kita bawa sejak lahir. Awalnya kita semua bebas nilai seperti Tarzan. Namun sosialisasi, pendidikan dan harapan yang dibebankan masyarakat membuat hidup jadi amat kompleks .
Baca juga : Gula Semut Aren Organik yang Anda Gunakan
Kita mumet bila tidak bisa menyekolahkan anak. Stress bila tak bisa pulang kampung saat lebaran. Gak enak banget bila tak punya uang untuk beli hp, tablet, laptop dan rumah. Pokoknya tidak ada yang merasa bahagia bila merasa kekurangan apa lagi merasa miskin.
Cermati media sosialisasi yang membuat kita menderita
Semua penderitaan berasal dari proses belajar. Dari institusi resmi seperti sekolah sampai tidak resmi seperti keluarga. Jalinan kekerabatan, pertemanan dan hubungan sosial, serta informasi media massa membentuk cara berpikir kita. Seperti sekolah adalah tiket anak-anak menuju sukses. Hidup sukses itu semacam kewajiban.
Baca juga : Pendidikan Perempuan yang Merubah Lelaki
Lalu kita ramai-ramai memasukan anak ke sekolah. Tak hanya sekolah biasa tapi sekolah terbaik. Semua orang ingin sukses, jadi siapa yang dengan sukarela melihat anaknya tak sukses? Rasanya tak ada! Akibatnya tiap tahun sekolah ikutan berlomba menaikan iuran. Padahal tak semua orang tua mampu untuk itu. Namun karena tidak melihat alternatif lain mereka “terpaksa” membayar, mengerahkan segala cara, yang penting anak-anak sekolah.
Begitulah kehidupan berlangsung. Kompleks. Kita selalu ingin memenuhi harapan masyarakat. Menderita bila tak melakukannya.
Menurutmu bagaimana temans? Kompleks atau sederhanakah hidup ini?
Salam,