Berguru Kepada Alam – Buku Peribahasa Indonesia
Dari berberes rak, saya menemukan buku tua berjudul 700 Peribahasa Indonesia. Terbitan Toko Buku Ekonomi Bandung cetakan 1982. Wow sudah 30 tahun! Berarti buku Peribahasa ini sukses melewati beberapa perubahan sosial. Tertulis di cover belakang bahwa buku ini ditujukan untuk murid tingkat SD. Juga untuk sekolah SPG dan PGA, dua institusi pendidikan yang sekarang sdh tak ada lagi.
Saya tak tahu apakah dalam pelajaran Bahasa Indonesia sekarang peribahasa masih diajarkan. Sudah tak ingat pada buku pelajaran anak-anak saya waktu di SD. Namun berharap peribahasa tetap ada dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Dari membalik tiap halaman, saya menemukan banyak yang bisa merangsang kecerdasan dan imajinasi. Itu karena kata-katanya selalu bercermin kepada lingkungan sosial, kemasyarakatan dan alam.
Terutama alam, boleh dibilang semua kalimat dalam kumpulan peribahasa ini bisa kita cari kata padanannya ke alam.Jadi tak berlebihan jika buku ini saya beri judul kedua : Berguru Kepada Alam.
Ini contoh peribahasa Berguru kepada alam :
1. Membekali budak lari = Merugi dua kali
Jaman dulu, ketika perbudakan masih legal, budak adalah komoditi, barang yang bisa diperjual belikan. Karena budak termasuk aset maka larinya seorang budak tentu mengurangi aset kekayaan. Apa lagi jika lari plus dibekali harta, artinya si pemilik akan rugi dua kali.
2. Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat = Maksud bersama menghadapi suatu hal akan tercapai jika dirundingkan.
Siapa yang pernah melihat air mengalir dari pembuluh atau tabung bambu yang digunakan untuk menyalurkan air? Air yang mengalir dari pembuluh bentuknya rapi menuju tujuan. Jadi agar teruju keinginan bersama dalam menyelesaikan suatu masalah, kita harus bermufakat dalam mencari solusinya.
Peribahasa dan Kreativitas
Peribahasa sarat nilai kreativitasnya. Semua tentang analogi. Disusun dari pengalaman yang berlaku pada suatu jaman kemudian digunakan untuk memotret kehidupan sosial. Dengan cara bijak lalu diteruskan dari generasi ke generasi dengan makna hampir tak berubah. Seperti “Minta tanduk pada kuda” yang berarti meminta sesuatu yang tak mungkin didapat. Yang bertanduk itu kerbau, bukan kuda.
Muasal kelahiran peribahasa ini mungkin karena dipengaruhi cara berkomunikasi nenek moyang kita yang tidak to the point. Orang Inonesia yang berbasis nenek moyang Melayu terutama, kalau bicara tidak langsung ke pokok sasaran, mutar-mutar dulu dengan bunga kalimat. Di Minangkabau dengan berpantun. Lalu sipenerima komunikasi berusaha memahaminya lewat pengalaman batin yang telah diajarkan kepada mereka. Sebuah kemampuan yang mengasah bahasa tutur dan mempertajam empati., menurut saya. Sebab untuk mengerti apa pesan dari sebuah peribahasa kita kudu mengerti dulu hakikat dari makna yang disampaikan.
Contohnya begini : “Terlungkup sama termakan tanah, terlentang sama terminum hujan” . Yang artinya mau susah-senang mau ditanggung bersama. Kita takan begitu memahami kalimat tersebut jika belum pernah bersentuhan dengan tanah atau belum pernah melihat kedatangan hujan.
Peribahasa Tidak Berkembang?
Peribahasa tidak berkembang. Benarkah? Atau saya saja yang tidak tahu! Peribahasa yang digunakan sekarang merupakan butir yang telah lama dikomunikasikan nenek moyang. Kontennya masih kental tentang kondisi sosial jaman dahulu kala. “Belum tentu hilir-mudiknya” diambil dari sungai. ”
Teman pasti mengerti arti peribahasa ini : ” Bak mentimun dan durian” atau ” Minum serasa duri, makan serasa lilin, tidur tak lena, mandi tak basah.”
Nah saya memikirkan sebuah peribahasa berbasis facebook, twitter, blog atau internet. Cuman karena kurang cerdas sulit sekali melahirkannya. Ada yang bisa bantu?
Salam,