Saya sedang menyisir punggung bukit di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Di kiri tebing dan di kanan jurang. Lansekap pegunungan yang sebagian dikupas bagi peruntukan jalan memang selalu seperti ini. Sekalipun jalanannya beraspal mulus, pengemudi tetap perlu waspada. Kontur naik turun, kelokannya terkadang lebih ekstrim dari huruf S. Makanya saya yang sedang bertugas sebagai co-pilot suami memasang mata elang. Sampai suatu ketika melihat jembatan bambu ini.
Batang bambu yang melintang antara tepi jalan dan pohon aren ini diguna penyadap nira sebagai jembatan. Panjangnya sekitar 16 meter. Diperuntukan sebagai jalan pintas. Menyeberangkan orang dari tepi jalan ke bagian atas pucuk aren yang mencuat dari lembah. Kedalaman jurang saya taksir sekitar 25 meter. Dan pohon enau yang akan disadab itu tumbuh di tebing jurang.
Dari tempat tumbuh aren, tebing masih melereng ke bawah. Melihat dari sisi sebelah timur jembatan bambu ini, saya kurang pasti akan berhenti di mana. Kelihatan dalam sekali. Untunglah semak belukar berhasil menyembunyikan kengeriannya.
Baca juga : Makan Angin di Jalan Desa, Mengamati Aktivitas Warga
Awalnya tak percaya batang bambu itu difungsikan sebagai jembatan. Lingkarannya terlalu kecil. Bagaimana mungkin orang yang membawa lodong melintas diatasnya tanpa jatuh ke bawah. Mana tak ada tambang pengaman lagi. Kalau sesenti saja kaki meleset dari titik imbang, pasti terjadi kecelakaan serius.
Baca jjuga : Skill Apa yang Kau Punya? Selamat Hari Ibu
Practise is The Mother of All Skill
Kemudian jadi ingat pemain sirkus. Jangankan titian bambu ini yang masih lebih lebar diameternya, di atas seutas tali saja mereka bisa menyebarang. Latihan bertahun-tahun telah membuat mereka ahli dalam menata gravitasi. Mungkin seperti itu pula yang terjadi terhadap penyadap aren dengan jembatan bambunya itu.
Keharusan mengambil nira dua kali sehari rupanya telah telah mengasah skill mereka meniti jembatan unik ini. Setidaknya mitra Arenga Indonesia, sekalipun terdengar pernah terjatuh. Semoga selamanya.
Sayangnya saat melintas di jalan ini hari sedang siang bolong. Itu bukan jam menyadap yang dilakukan pagi dan sore. Jadi saya tak bisa mengambil gambar sang pelintas jurang yang gagah berani itu.
Yang jelas adalah, seperti kata orang bahwa practise is the mother of all skill.
Posted from WordPress Android
eviindrawanto.com