Tiap kali datang ke Dusun Mengkudu – di Jawa-Barat, tiap kali pula saya bertanya dalam hati, mengapa tampaknya orang kampung lebih sehat dari orang kota? Saya mengukurnya dari penampakan fisik. Bola mata mereka lebih cemerlang. Daya tahan terhadap kendala lingkungan sepertinya diatas rata-rata. Kemarin seorang ibu yang usianya jauh lebih tua telah membuat saya menangis dalam hati. Saya harus merangkak naik-turun bukit, eh dia enak saja meloncat-loncat diantara akar pohon. Persis seperti bajing. Berasa banget dunia ini tidak adil! 🙂
Orang kampung Lebih Sehat Karena Tak Membedakan Status Sosial
Syaraf-syaraf di mulut orang kampung juga lebih aktif. Tak mensyaratkan harus kenal lebih dahulu baru menyapa. Teman akan disapa begitu amprokan muka. Cantik-jelek, kaya-miskin dapat penghormatan sama. Kalau saja ada yang kesasar di kampung ini, asal jangan bawa perangai aneh, jangan takut seperti tersasar di kota. Tersesat di desa selain akan diberi pengarahan seperti jurusan rumah kepala desa, ada yang tak segan mempersilahkan kita mampir. Atau bahkan menawarkan bermalam di rumah mereka. Menawarkan orang asing bermalam di rumah bukan pilihan yang bijak di kota 🙂
Jadi secara umum mengapa orang kampung lebih sehat?
1. Makanan minim pencemaran zat kimia berbahaya. Nasi berasal dari padi sawah sendiri. Tak dipupuk maupun disemprot anti hama. Ayam dari kandang sendiri, ikan dari kolam sendiri dan sayur di petik dari kebun belakang rumah sendiri.Jadi disini tak ada tuh ayam-ayam yang digemukan sampai gak bisa jalan, lalu dijejalkan dengan ratusan ayam gemuk lain saat diangkut kepasar. Bayangkan efeknya bagi yang makan. Tak hanya menelan hormon pembesar dan penggemuk, kita juga akan menikmati stress ayamnya. Tapi disini makanan dari alam seluruhnya organik.
2. Lingkungan hijau. Sepanjang mata memandang yang ada hanya gunung dan bukit dengan pohon rimbun. Di tempat lain banyak pohon yang mati karena kekeringan namun di tempat ini karena cadangan airnya masih melimpah pohon-pohon masih hijau
3. Minim stress. Hidup tidak begitu kompleks. Jiwa gotong royong dan saling membantu masih tumbuh. Disini dhuafa tidak dijamin oleh negara, kejauhan! Mereka yang tak punya dijamin oleh saudara maupun tetangga. Contohnya petani yang saya inapi punya lahan 20 hektar. Sebagian lahan tersebut diserahkan kepada orang tak punya untuk digarap dan ditanami apa saja. Hasil panen pun boleh dimiliki seratus persen. Hanya kayu-kayu besar yang hak jualnya tetap pada si pemilik tanah.
4. Saya pernah menulis tentang Leuit Sebagai Simbol Ketahanan Pangan disini. Nah di kampung ini sistem tersebut juga berjalan. Walaupun tidak ada larangan menjual padi atau beras, rata-rata penduduk desa lebih menyukai menumpuk hasil sawah mereka di Leuit. Mereka amat takut pada kondisi kekurangan pangan. Maka satu-satunya cara adalah menyimpan hasil panen di lumbung sebagai persediaan. JIka satu leuit penuh, leuit berikutnya akan di bangun. Saya kenal satu keluarga yang memiliki 12 leuit dan semuanya terisi oleh bulir-bulir padi!
Melihat kemakmuran ini saya sempat bertanya pada tuan rumah, apakah masih banyak anak muda merantau ke kota. Jawabnya mencengangkan saudara-saudara. Disini anak muda merasa lebih terhormat sebagai buruh pabrik ketimbang menggarap sawah dan ladang warisan nenek moyang mereka. Hayah! Pasti ada sesuatu yang salah ini..
Menurut teman-teman apa alasannya orang lebih memilih jadi buruh kasar di kota ketimbang bertani di kampung? Mari kita urun rembuk 🙂