Saya sudah berminggu-minggu bolak-balik dan tinggal di desanya Wulan. Sebuah desa di lereng Pegunungan Halimun. Yang kalau malam dan pagi teramat dingin. Kalau siang hangat, membawa serta semua aroma alam ke permukaan. Saya betah tinggal di sini. Makanannya enak. Orangnya ramah. Makan angin di jalan dusun seperti ini sudah menyenangkan. Enggan pulang kalau tak terpaksa.
Namun kegiatan saya dan suami di desa itu teramat padat. Maklum ini bukan aktivitas traveling tapi kerja. Jadi baru sore ini punya kesempatan melihat-lihat aktivitas masyarakat. Menikmati suasana petang sambil melatih lutut tua saya agar tetap lentur.
Saya tidak masuk ke kantong desa. Terlalu capek dan juga tidak ingin menarik perhatian. Maklum lah masyarakat desa Indonesia yang sudah kebiasaan bersikap ramah kepada pendatang. Saya pasti akan menerima banyak pertanyaan atau sedikitnya menerima tatapan heran. Biasa sebetulnya, tapi sore itu saya merasa kurang nyaman, jadi memutuskan makan angin di jalan desa. Pelintasan warga di pinggang bukit. Dipagari tebing, ditingkahi jurang.
Jadi di petang yang temaram itu hanya menyusuri jalan utama dusun. Menjulur di sepanjang lereng bukit, penghubung antar beberapa kampung di jejeran Pegunungan Halimun.
Makan Angin di Lereng Bukit Dengan Tebing dan Jurang
Rasanya bukan seperti piknik di jalan dusun. Melainkan sedang mengitari kaki gunung dan menyusuri tepi jurang. Benar! Itu adalah ungkapan yang tepat untuk menyebut pengalaman ini.
Jalan dusun ini secara harfiah memang dibangun dengan mengerok lereng bukit. Lalu dikeraskan sedikit dengan membenamkan batu kali. Turun naik mengikuti kontur bukit, berdebu saat musim panas seperti sekarang dan amat licin bila hujan tiba. Karena desa ini hanya bisa disatroni dengan sepeda motor, yang perlu jantung kuat.
Saking sederhananya jalan sampai anak saya yang pernah ikut ke sini bertanya, ” kita sudah berapa kali ganti presiden ya? Atau ” Sepertinya kampung ini bukan bagian dari Indonesia? “
Sekarang lupakan ironinya. Yuk sambil makan angin kita lihat beberapa aktivitas penduduk sore tadi.
Baca juga : Wisata Lereng Gunung Tanggamus
Aktivitas Warga di Desa Lereng Bukit
Entah sudah berapa ratus meter berjalan mengikuti punggung bukit, bertemu dengan banyak warga dengan berbagai aktivitasnya. Ada dua orang ibu baru pulang dari ladang. Memakai topi caping dengan beban di punggung dan di tangan. Entah apa isinya, mungkin hasil panen.
Saya berani ngambil gambar mereka cuma dari belakang. Padahal tadi mereka menyapa dengan ramah. Cuma saya sungkan kalau mereka tahu difoto. Padahal yakin gak masalah. Cuma dengan wajah kelelahan begitu saya merasa aneh jika menyorongkan lensa pada mereka 🙂
Makan angin ini benar-benar berfaedah. Jadi mendapat gambaran sederhana bagaimana warga dusun setelah beraktivitas seharian lalu pulang. Bahwa mereka adalah warga negara yang rajin dan aktif.
Baca juga : Trekking Jajal Dengkul
Meneruskan langkah beberapa puluh meter lagi berjumpa dengan satu rombongan keluarga. Mereka baru pulang hajatan. Bali degendong oleh para ayah. Sementara ibu dengan rantang di tangan menuntun anak yang sudah bisa berjalan.
Jadi ingat waktu kecil dulu. Saya pun pernah di gendong bapak di atas pundak. Berada diketinggian seperti itu ngeri-ngeri sedap. Saya berpegangan erat di leher bapak sampai beliau protes bahwa saya mencekiknya.
Terus apa gunyanya motor? memindahkan barang dan orang. Mempersingkat jarak dan waktu. Meringankan beban kerja.
Jadi lah kambing pun dapat kehormatan naik motor. Dipeluk erat pemiliknya. Melihat dari matanya, saya tahu kambing itu akan meloncat dari pelukan kapanpun kalau tak dipegang erat-erat.
Baca juga : Perbincangan di Taman Sang Nabi
Memindahkan Barang dengan Pundak
Saya terus jalan-jalan di jalan dusun, makan angin sambil merekam kegiatan apapun yang ditemui.
Saya pernah mendengar seseorang mengatakan bawah orang Indonesia malas. Melihat aktivitas di jalan dusun ini, rasanya pengen “mengepret” mulut tak bermutu itu dengan gula aren. Manusia berpikir cupat. Pikniknya kurang jauh. Makanya seenak perut melabeli orang dengn pikirannya.
Baca juga : Beban-Beban di Pundak
Lalu bertemu lah saya dengan seorang anak mudah menjunjung batang dan daun kapulaga. Buah kapulaga digunakan untuk menyedapkan makanan maupun herbal. Nah daun kapulaga yang dipikul anak mud itu entah untuk apa. Untuk santapan kambing?
Dan saya juga bertemu dengan anak muda pekerja keras lainnya. Enak saja dia memindahkan separuh batang kayu jati belanda yang masih basah. Kayu baru saja digergaji untuk dijemur. Itu pasti berat. Apa lagi jalan diatas tanah berbat dan turun naik. But that’s life kan ya?
Suka kah engkau piknik di desa temans? Di mana biasanya kamu makan angin?
Salam,