Ketika Cinta Harus Memilih – Harimau betina muda itu bernama El. Pada suatu siang yang terik El duduk termangu di bibir jurang. Matanya memandang melintasi lembah di bawah lalu naik ke puncak gunung yang berdiri berlapis-lapis nun jauh di sana. Beberapa gumpal awan terserak dari langit seakan puncak gunung-gunung itu bersembunyi di belakang tirai putih keabuan. Yang terpandang oleh El hanya badan dan kaki mereka, berlereng-lereng melandai menuju lembah.
Setiap generasi dalam masyarakat El mewarisi satu cerita bahwa dibelakang pebukitan itu terdapat satu negeri makmur yang dipimpin raja bijak bestari. Rumah penduduknya terbuat dari emas dan beratap perak. Lampu jalanan membuat malam-malam mereka seperti pesta kembang api tak berkesudahan karena terbuat dari berlian dan mutiara. Sementara pohon-pohonya juga bercahaya mengeluarkan warna aneka rupa.
Penduduk negeri itu tidak pernah berperang, tidak mengenal penyakit, tidak memiliki kelenjar air mata karena memang tidak diperlukan. Mereka  selalu bahagia dan tidak pernah menangis.  Mereka berkomunikasi menggunakan telepati yang  membuat mereka saling memahami. Dan mereka tidak pernah pula bekerja karena semua kebutuhan hidup muncul dari tanah kala setiap keinginan diucapkan.
Memilih Cinta itu Meresahkan
Disamping El duduk pula harimau jantan tua, menumpukan perutnya yang tambun di tanah. Matanya merem-melek seakan menahan kantuk dalam belaian angin. Sesekali terlihat bulu-bulunya yang mulai memudar itu tersibak. Sekalipun tampak khusuk namun batinnya resah. Dia tahu persis apa yang sedang terjadi di sebelah. Telinganya yang telah mendengar ribuan pengalaman bangsa harimau bisa menangkap hiruk pikuk yang sedang berlansung dalam benak putrinya, El.
Sebetulnya saat itu dia enggan bicara. Namun cinta terhadap El membuatnya memilih bicara, setidaknya harus memampukannya berbicara. “Kau lihat sendiri, satu-satunya jalan agar sampai ke negeri emas itu adalah turun ke lembah. Dan aku tidak perlu mengingatkan lagi bahwa lembah adalah suatu wilayah yang harus kau hindari. Gerombolan penghuni tempat itu serigala licik, rajanya tidak bermoral dan mereka memangsa anak-anak sendiri.” Dia berhenti untuk memberi kesempatan pada El untuk mencerna.
Baca juga : Ayah dan Anak Lelakinya
” Jadi anakku, kita tidak berkawan dengan serigala. Kita telah sama-sama tahu setiap harimau yang lepas ke bawah tidak pernah kembali, lenyap begitu saja. Banyak yang menyangka mereka di mangsa atau di jadikan budak. Tapi tidak seorangpun yang benar-benar tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Segala sesuatu yang berada di bawah kanopi pohon rindang itu dibungkus pengalaman serigala yang jadi misteri untuk kita. Dan bangsa serigala tidak akan repot-repot naik kesini untuk menceritakannya kepada kita .”
Yang dilakukan El hanya diam. Matanya tetap menatap lurus ke balik gunung-gunung. Apa yang bisa dilakukannya jika sebuah nasihat lahir dari kekuatiran, perlindungan dan sekaligus cinta? Sebetulnya sang Ayah tak perlu mengulang cerita yang telah El dengar sejak bisa memahami bahasa. Namun dia memahami apa yang sedang berlangsung dalam pikiran ayahnya.
Baca juga : Ayah dan Dua Jagoannya
Sementara itu sang harimau tuapun tahu bahwa legenda tentang negeri di seberang lembah di belakang bukit itu sangat menggelisahkan. Di belakang otak kecil setiap harimau menyimpan satu impian bahwa suatu hari mereka akan menyeberang lembah dan sampai di negeri emas tersebut.
Mereka percaya bahwa dalam jiwa terdalam mereka punya karunia istimewa. Mereka bisa membuat perbedaan. Bisa menyibak teka-teki yang sudah merundung nenek moyang selama ratusan tahun. Maka cinta terhadap pengelanaan membuat mereka memilih keluar dari zona nyaman.
Ironi
Maka satu demi satu harimau turun menuju lembah dengan janji akan kembali. Minta di doakan agar selamat dan saat kelak  kembali akan menceritakan semua pengalaman yang terjadi . Sayangnya mereka tidak pernah kembali. Negeri terang benderang tetap gelap dalam misteri.
Dia, sang harimau tua pun pernah berniat mengikuti jejak para pendahulu, menyusun keberanian yang terencana menuju tanah impian. Namun sudah lama dia melupakan mimpi gila tersebut. Merelakan. Memaksa dirinya merasa puas dengan kehidupan sekarang. Sudah cukup jadi induk dari sepuluh ekor harimau gagah yang sekarang tersebar di hutan.
Lalu sekarang putrinya ikut bermain mata dengan kemilau kehidupan yang hanya didengar dari dongeng turun temurun? Dari seluruh dari cita-citanya yang tidak terkabul, adakah yang lebih ironis dari ini?
Si putri yang sudah amat tahu kegalauan dalam benak ayahnya, perlahan merebahkan diri disampingnya. Dia ingat lelaki gagah ini dulu sering mengayun-ayunkannya di bahu. Selalu minta agar lontaran tubuhnya ke udara lebih tinggi lagi. El  tidak pernah kuatir atau takut terjatuh. Karena  tahu sang ayah takan membiarkannya.
Ia tahu dalam benak harimau jantan tua sekarang sedang terjadi pertarungan abadi, cinta yang mendekap atau memilih membebaskan.
Baca juga : Tambur Nabi Sulaiman, Si Kancil Cerdik
Membebaskan Apakah Sama Dengan Kehilangan?
Mereka saling memahami namun tidak cukup mengusir kegundahan yang timbul dari hati masing-masing. Dan dua pasang mata akhirnya sama-sama menatap menyeberangi gunung-gunung dalam keriuhan yang diam untuk alasan yang berbeda. Sang ayah kuatir tentang apa yang akan hilang dari hidupnya sementara sang puteri kuatir terhadap pengalaman yang belum dia temui.
Lalu El memecah senyap. ” Dulu ayah mengatakan bahwa siapa kita dan kemana kita menuju dalam kehidupan ditentukan oleh keputusan-kepetusan yang kita ambil hari ini. Ketika kita mengambil keputusan saat itu lah takdir kita terbentuk. Dan ayah juga mengatakan mereka yang mengambil keputusan untuk merubah takdir mereka hari ini akan menjadi inspirasi legendaris dan menjadi anak sejarah. Aku telah membuat keputasan ayah, aku memilih menyeberang ke sana dan membuat legenda untuk masyarakat kita”
Diam-diam perasaan malu menyelusup ke kalbu sang harimau tua. Putri cantiknya ini adalah dirinya 25 tahun yang lalu. Dia yang mengajarkan agar anak ini jangan pernah meninggalkan suatu sasaran tanpa terlebih dahulu mengambil tindakan positif untuk meraihnya. Sekarang pelajarannya telah berbuah. El sudah memilih cinta sejatinya, meninggalkannya. Dan kalau belajar dari sejarah dari yang sudah pergi untuk selamanya.
Dengan pikiran ini, harimau tua mati-matian memerangi air yang hendak runtuh dari matanya.
Sudah lama dia tidak merasakan hantaman pedih seperti yang mendera batinnya saat ini. “Ayah sayang banget padamu, El” Suaranya serak.
Tanpa diucapkan pun El  tahu bahwa dia sangat dicintai. Namun mendengar ucapan serak itu untuk pertama kali, El juga mati-matian menahan agar air matanya tidak tumpah. Namun suatu beban amat berat serasa lepas dari pundaknya. Itu lah cara sang ayah merestui kepergiannya. Dengan lembut El menyurukan kepalanya pada perut sang ayah sebagai tanda terima kasih. Matanya berkilat merasakan kebahagiaan yang aneh.
Memilih Cinta Memilih Pergi
Sekarang El bersiap-siap dimulut jurang. Bahkan saparuh dari badannya telah mulai menurun. Momen ini, sebuah kemenangan awal dari sebuah antusiasme, pikirnya. Permulaan yang sangat sangat sangat baik.
Diiringi tatapan yang mendukung dari sang ayah, bahwa cinta adalah soal pembebasan, perlahan El beringsut lebih ke bawah. Meletakan kaki belakangnya terlebih dahulu agar tersedia cukup waktu menatap sang ayah untuk terakhir kali. Saat itu El menyadari bahwa sang ayah bisa menghentikannya tapi tak dilakukan oleh harimau tua itu. ” Yah cinta itu memang harus memilih, tidak mengungkung tapi membebaskan “. Ucap El dalam hatinya.
Ketika tebing dan kerindangan pohon telah memisahkan El dan sang ayah, ketika matahari tidak lagi sanggup menembus rimbun hutan, ketika merasa sendirian, ketika rasa takut perlahan-lahan berlabuh di hati, di telinga El tergiang-ngiang satu wejangan dari sang ayah, ” Keputusan-keputusan yang kau ambil akan membentuk takdirmu, namun hanya keberanian lah yang menentukan suksesmu…”
Dari jauh terdengar lolongan serigala…