Filosofi dalam semangkuk soto? Gejeh banget ya, soto saja pakai pilosopi-pilosopian. Mengapa tidak memikirkan saja berapa kalori semangkuk soto, setidaknya berguna bagi sobat travelers yang sedang diet dan kebetulan mampir ke blog ini.
Tapi mengapa tidak? Jika kopi saja ada filosofinya, mengapa soto tidak boleh? Karena eksistensi di muka bumi selalu berlangsung selalu karena sebab dan akibat, kelahiran menu soto pun pasti demikian. Ada cerita dan alasan di belakangnya.
Jadi apa yang teman traveler pikirkan sebelum menikmati semangkuk soto? Entah soto ayam, soto daging atau beragam soto lain yang menyebar di bumi Nusantara. Sejarahnya kah, asal soto, cara membuat, cita rasa, penampilan atau harganya?
Kalau saya, walau sepintas, suka memikirkan cerita apa di belakang semangkuk soto? Mengapa soto diciptakan hingga dikenal di seluruh Indonesia? Apa filosofi di belakang kelahiran semangkuk soto?
Memberi Makan Keluarga Besar dan Berhemat Daging
Blog pos ini lahir karena suatu pagi saya wisata kuliner ke Pasar Lama Tangerang. Pasar yang buka dari pagi sampai siang ini, selain bersejarah juga didapuk sebagai pusat jajan. Nah hari itu saya memutuskan untuk mencoba soto kudus, yang mangkal di Jalan Kisamaun.
Sambil mengaduk-aduk soto panas dengan asap yang masih mengepul, terpikir, adakah filosofi di belakang semangkuk soto ini. Dengan sayuran, sedikit daging ayam dan kuah berlimpah, mengapa selama ini saya hanya menerima begitu saja bahwa ini adalah salah satu kuliner paling umum di Indonesia. Rasanya enak, harganya juga murah.
Baca juga:
Saya sudah lama curiga menu soto ini merupakan cara nenek moyang kita berhemat daging atau bahan protein.Perhatikan soto ayam yang saya nikmati seperti foto diatas. Untuk semangkuk soto dengan kuah berlimpah itu dagingnya cuma beberapa iris saja. Yang membuat mangkok penuh selain air adalah campura berupa bihun, sayuran, perkedel dan bahkan sambel.
Itu berkaca pada sistem budaya Indonesia yang berbasis keluarga besar. Yang disebut satu keluarga bukan hanya terdiri dari bapak-ibu dan anak-anaknya melainkan seluruh kerabat yang berhubungan dua tingkat keatas dan kesamping dimana kakek-nenek sebagai pusatnya.
Dulu mereka tinggal dalam satu rumah. Di tambah lagi Nusantara miskin selama tiga ratus lima puluh tahun dalam penjajahan Belanda. Kondisi itu memaksa penanggung jawab menu keluarga harus pandai mengelola sumber makanan yang terbatas agar seluruh anggota keluarga kebagian.
Jadi kalau cuma punya seekor ayam sementara mulut harus diberi makan 15 orang, menu apa lagi yang pantas diketengahkan kalau bukan soto? Dan masuk akal bila soto pun dihidangkan pada acara keramain seperti pesta adat, acara keluarga. Soto itu menu hemat daging!
Jadi kalau ada yang bertanya apa filosofi dalam semangkuk soto? Bagi saya kekeluargaan! Bagi roto bagi roso..
Baca juga:
Kalori
Ohya bagi Sobat travellers yang sedang berjuang menurunkan bobot tubuh, pasti pernah melontarkan pertanyaan, berapa kalori dalam semangkuk soto?
Mestinya tidak ada angka yang pasti. Karena menikmati soto biasanya juga dibarengi dengan tambahan nasi. Belum lagi perangkat lain seperti perkedel kentang dan kerupuk.
Menurut pendapat ahli, semangkuk Soto Ayam tanpa nasi dengan tambahan lain-lain, dia perkirakan mengandung sekitar 250 kilo kalori (kkal). Jadi semakin banyak nasi dan bahan-bahan lain yang ditambahkan pada semangkuk soto, kalorinya juga akan semakin meroket.
Pendapatmu temans?