Tiap kali melintas di jalan-jalan Jakarta lalu bertemu penanda arah ke Kota Tua Jakarta, saya selalu berdebar. Menyadari satu kesalahan yaitu keabaian  pada kisah awal kota ini. Puluhan tahun jadi penduduknya lalu pindah ke pinggiran puluhan tahun berikutnya, belum sekalipun menginjakan kaki di Kota Tua secara sengaja. Pernah mengunjungi Museum Sejarah Jakarta seperti cerita disini, tapi tak lebih memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua. Anak dapat tugas dari sekolah. Sering pula ke Glodok tapi untuk belanja. Yang dengan sengaja mengeksplorasi relik peninggalan yang  pernah menggurat wajah ibu kota, belum pernah saudara-saudara. Padahal saya mengaku sebagai penyuka warisan budaya. Memalukan! Namun niat itu tetap ada, minimal saat lewat nanti , menjanjikan diri mampir ke Menara Syahbandar saksi sejarah Jakarta, juga menara paling bersejarah di Jakarta.
Akhirnya waktunya tiba!
- Baca di sini tentang:Â Â Jakarta yang Compang-Camping
Iya tiba waktunya untuk melebur rasa malu . Itu pun sudah kadung berada di Pluit . Hari saya ajak suami berbelok menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Selain piknik ke Menara Syahbandar (Uitkijk), menara paling bersejarah di Jakarta juga ingin melihat Museum Bahari. Saya ingin melihat sisi tua dari wajah kota dari peninggalan maritimnya. Sayang kesorean dan museum sudah tutup. Kecewa tentu saja tapi tak teramat dalam . Saya masuk ke halaman Menara Syahbandar salah satu saksi sejarah Jakarta, menjelaskan situasinya. Seorang Bapak baik hati yang masih bertugas akhirnya mengijinkan saya naik ke atas menara yang dibangun Belanda tahun 1839. Bangunan ini bagian dari Museum Bahari.
Naik ke Atas Menara Syahbandar Salah Satu Saksi Sejarah Jakarta
Yeay ! Mendaki menara yang pernah jadi tempat tertinggi di Batavia ini jadi momentum balik dari kekecewaan saya.
Kala menaiki satu persatu dari 77 anak tangga terasa goyangan sedikit sedikit. Si pengecut ini menepi memegang rel tangga. Mungkin angin atau getar dari kendaraan yang lewat. Maklum bangunan ini terletak di dua persimpangan jalan dua jalan. Sudah mepet banget di tepi Jalan Pakin dan Jalan Pasar Ikan. Semangat pantang mundur membuat saya terus mendaki anak tangga satu persatu. Mendengarkan detak sepatu saya sendiri terhadap kayu jati tebal dan bercat merah tembaga.
Sambil melegakan paru-paru yang meminta lebih banyak udara, menikmati lukisan di dinding bisa jadi dalih. yang menggambarkan suasana Pelabuhan Sunda Kelapa abad ke-17. Ada lukisan rakyat pribumi saat melihat kedatangan kapal uap Portugis memasuki Pelabuhan Sunda Kelapa. Naik lagi.   Berhenti lagi, motret lagi sambil berusaha mencari aroma masa lalu. Makin keatas makin mengerti mengapa bangunan ini disebut juga Menara Goyang. Tempat itu tambah ke atas benaran tambah terasa bergoyang ke kiri-kanan.
- Baca di sini tentang:Â Solusi Macet di Jakarta ada di Dunia Maya
Sampai di lantai paling atas terdapat empat buah jendela yang terbuka pada 4 penjuru mata angin. Dari jendela ini dulu para petugas mengintai kapal-kapal yang akan masuk dan keluar dari pelabuhan. Terlihat gedung-gedung yang dulu dipakai saat Sunda Kelapa masih pelabuhan sibuk. Ada gedung navigasi, kantor pabean dan kantor transaksi dagang. Ke sebelah timur terlihat Galangan VOC, bekas bengkel kapal yang sekarang difungsikan sebagai resto. Tak jauh darinya sayup-sayup juga tampak Jembatan Kota Intan yang dibangun dengan cara buka tutup. Dulu kalau malam jembatan itu diangkat agar para pelaut yang mabuk tak bisa memasuki kota.
Jadi Saksi Sebagai Kota Majemuk
Berdiri diatas menara Syahbandar yang jadi saksi sejarah jatuh bangunnya Jakarta, saya merenung ke bawaj. Melepas pandang melewati jendela yang membawa mata ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Dederetan Kapal Phinisi bersandar rapi di mulut kanal sebelah utara.
Berdiri tepat di di mulut Teluk Jakarta tak tehindarkan Batavia tumbuh jadi kota majemuk. Laut membuat Jakarta terbuka aksesnya ke berbagai bangsa. Tak hanya berisi ragam etnis dan budaya, penduduknya juga datang dari berbagai latar belakang pendidikan dan kelas sosial berbeda.  Seperti buah ranum yang dikelilingi kalong, Jakarta jadi tumpuan harapan jutaan orang. Dan hebatnya itu tak terjadi dengan tiba-tiba. Jakarta ini sudah diperebutkan  sejak jaman kerajaan Tarumanagara! Dari menara paling bersejarah di Jakarta ini, kita bisa mengurai cerita.
- Baca di sini tentang:Â Di bawah Menara Syah Bandar
Saya menyeret kenangan ke belakang. Ditemani atraksi tembok Batavia serta menara Masjid Luar Batang yang mencuat dari atap bangunan di sebelah Timur. Abad ke-5  Sunda Kelapa mulai timbul dalam peta sejarah Nusantara. Dulu namanya Kalapa, yang selewat era Tarumanagara jadi pelabuhan penting bagi kerajaan Pajajaran yang beribu kota Pakuan (Bogor). Seiring pekerkembangan penjelajahan orang Eropa serta penyebaran Islam ke seluruh dunia, Kalapa jadi rebutan Portugis dan kerajaan-kerajaan Nusantara. Kerajaan Cirebon pernah menguasainya yang lalu direbut oleh Demak. Namun akhirnya Belanda lah yang paling lama menggauli kota  cantik ini, 300 tahun.
Jatuh dan bangkitnya sebuah kota dilatari sejarahnya. Jakarta yang pernah bernama Kalapa, Jayakarta, Sunda Kelapa dan Batavia ini telah melewati tiap terminal dari  ambisi umat manusia. Mensejahterakan kelompok masyarakat tertentu dan mengurai tangis  kelompok yang tak tersejahterakan. Tawa-tangis, darah dan air mata pernah campur aduk disini. Mengerikan dari satu sisi tapi peluang yang ditawarkan tetap membuatnya jadi magnit.
Mencintai Jakarta? Coba sesekali telisik sejarahnya. Begitu banyak pesan masa lalu yang ingin dia sampaikan kepada kita . Mengingat sejarahnya yang panjang dalam kepemilikan,  dengan memahaminya semoga Jakarta tetap utuh berada dalan  negara Republik Indonesia 🙂