Makan bubur ayam di Tangerang tuh tidak akan pernah kehabisan ide. Banyak banget yang jualan, tinggal pilih yang terdekat dari rumah. Nah salah satu langganan saya adalah Bubur Ayam Pak Gendut yang mangkal di depan Plaza BSD. Sudah bertahun-tahun tinggal di Serpong, artinya sudah bertahun pula mampir ke sana. Terutama hari Minggu, saat ide memasak sarapan pagi terasa absurd.
Selera manusia sebanyak bintang di langit. Kalau saya dan suami suka Bubur Ayam Pak Gendut Depan BSD Plaza Tangerang ini karena merasa cocok di lidah. Apa lagi banyak pelengkapnya. Ada sate ati ampela goreng, yang kalau dikunyah membuat mulut tambah tertawa. Kerupuk dan kuah boleh ambil semaunya. Minta banyakin ayam atau cakwenya juga tak malasah.
Tapi anak-anak kami berbeda seleranya. Mereka lebih suka bubur ayam di Pasar Lama Tangerang. Katanya lebih gurih. Struktur buburnya lebih kenyal. Daing ayamnya tidak keras.
Ya sudah, jadi kalau merasa ingin sarapan bubur ayam Tangerang, kami akan gilir tempat. Antara Bubur Ayam Pak Gendut BSD dengan yang di Pasar Lama Tangerang.
Baca juga : Bubur Pedas yang Tak Pedas
Filosofi Semangkuk Bubur Ayam
Bubur ayam walau sudah terkenal dari jaman nenek moyang namun jarang naik kastanya selain untuk sarapan pagi. Mungkin karena perut kosong semalaman maka beras yang dimasak encer ini dianggap cukup bersahabat bagi pencernaan.
Jadilah semangkok bubur ayam dengan topping sedikit daging ayam, cakwe, kacang kedelai goreng, cincangan daun bawang, seledri, dan bawang goreng jadi asupan nutrisi mengawali hari. Disukai banyak kalangan sebelum memulai aktivitas pagi.
Baca juga : Filosofi Dalam Semangkuk Soto
Pernah menulis tentang filosofi semangkuk soto yang saya curigai sebagai cara nenek moyang kita berhemat daging.
Nah bubur ayam saya kira juga sama. Tapi jangan ambil contoh bubur ayam di Tangerang. Itu versi bubur ayam mewah.
Kalau kita tanggalkan semua pernik topping– nya, bubur ayam hanyalah nasi putih yang diencerkan. Berbahan satu gelas beras bisa dapat satu periuk besar bubur. Itu bisa memberi makan orang sekampung.
Jadi kalau soto berhemat daging maka bubur ayam berhemat beras.
Baca juga : Cinta Dalam Semangkuk Mie Instan
Cerita Nenek Tentang Makan Bubur
Nenek saya punya cerita sedih dengan bubur ayam, tepatnya bubur nasi. Katanya, zaman perang makan bubur idiomnya adalah kemiskinan. Serba susah. Banyak rakyat kebanyakan tidak dapat makan nasi secara teratur. Kalau dapat itu artinya kemewahan.
Nenek menceritakan bagaimana ia membuat bubur dan membagi sama rata diantara putera-puterinya. Sambil cerita matanya menerawang jauh seolah kesedihan serba kekurangan itu hadir kembali di depannya. Nah saat berhadapan dengan semangkuk bubur ayam di Tangerang, saya jadi sering ingat nenek.
Baca juga : Mie Ayam, Kampung
Saya pun pernah membaca sejarah para perantau Cina yang datang ke Indonesia. Untuk berhemat mereka hanya memakan bubur setiap hari. Tapi bubur yang mereka makan bukan seperti foto di atas pastinya.
Sesuai dengan proses pembuatannya, hemat beras, makan bubur cepat sekali laparnya. Walau sarapan dengan dua mangkuk di pagi hari, pukul dua belas siang naga perut saya sudah bergaduh lagi. Minta diisi.
Baca juga : Makanan Sejuta Umat : Mie Ayam
Jadi makan bubur ayam untuk saya tidak efisien, menimbulkan rasa bersalah karena butuh makan lagi saat jam makan siang. Lebih baik sarapan nasi sekitar pukul sembilan atau sepuluh dan makan lagi sore hari. Jadi makannya cukup dua kali seperti kebanyakan yang dilakukan nenek moyang saya dulu.
Salam,