Nelayan Karimunjawa Pulang Melaut – Matahari hendak masuk peraduan. Jingga keamasan, bulat, di kaki langit dipancarkan balik oleh air laut beriak halus. Seiring turunnya suhu, panas yang disimpan air laut sejak siang pelan-pelan di lepaskan ke udara. Membawa serta aroma asin dan anyir ke permukaan.
Saya berdua suami di dermaga. Sibuk dengan pikiran masing-masing memandangi senja. Saya duduk di tembok pemisah antara jembatan dermaga dan laut. Meluruh lelah setelah seharian snorkeling. Mengintip isi laut dangkal Karimunjawa yang memesona.
Turis, Nelayan, dan Senja
Beberapa perahu kayu, datang dari laut, perlahan merapat ke tepian. Ada perahu bermotor tertutup seperti yang kami gunakan tadi siang. Ada perahu kayu dengan tiang-tiang denga layar sudah diturunkan.
Yang menarik hati kala itu adalah seorang nelayan yang setelah menurunkan wisatawan, menepikan perahunya dengan dengan bantuan sebatang tongkat kayu. Usahanya kerasnya berlawanan dengan ketenangan angin sepoi sore itu.
Tapi tak lama. Dengan keahlian yang tak saya mengerti akhirnya perahu itu tertambat, dengan seutas tali rami rajut ia terikat pada bolder. ( Bolder adalah perangkat pelabuhan untuk menambatkan (tambat) kapal di dermaga atau perangkat untuk mengikatkan tali di kapal).
Dan setelah bicara sebentar dengan seseorang (mungkin salah satu crew juga), ia pun melompat ke dermaga dan segera menghilang diantara becak, motor dan mobil. Saya memandangi punggungnya sambil berbisik, ” Pulang lah, istirahat lah, rejeki esok hari akan disimpakan laut untuk sementara.
Baca juga:
- Langit Biru di Karimunjawa
- Snorkeling di Karimunjawa
- 4 Keindahan Hakiki Danau Sentani Jayapura
- 7 Pesona Wisata Ujung Kulon
Memandangi Nelayan Karimunjawa Pulang Melaut pun Usai
Akhirnya sore semakin kelam. Acara memandangi Nelayan Karimunjawa Pulang Melaut pun usai. Suami mengamit lengan saya sambil bertanya, “Mau makan apa?”
Pertanyaan seperti itu tidak pernah saya jawab langsung. “Mau makan apa?” Karena saya tidak tahu apa yang bisa kami makan di dermaga Karimunjawa yang mulai gulita. Warung kopi yang biasanya sedia Indomie rebus juga sudah menutup pintu.
Terus teman perjalanan mengatakan, “kita makan bakso aja yuk. Dekat lapangan gak jauh dari sini ada bakso ikan yang enak”
Jadi ya gitu lah, karena berada di tempat produksi ikan, mengapa tak mencoba bakso ikan. Karena ikan bakar dan goreng dari kemarin mulai membosankan.
Saat itu saya menyadari bahwa ada sepotong hati yang tertinggal dalam keindahan Karimunjawa di senja ini. Membeku jadi kenangan yang bisa dijadikan rujak kehidupan.
Posted from WordPress Android
eviindrawanto.com