Rumah-rumah yang ditingkalkan banyak ditemui kalau teman berkesempatan mblusukan ke dusu-dusun di Sumatera Barat. Rumah-rumah itu tak terawat, compang camping dan tua dimakan jaman. Berdiri diantara Masjid dan Mushola. Rumah-rumah yang ditinggalkan para pemiliknya itu hasil dari sistem sosial Minangkabau yang menganjurkan rakyatnya pergi merantau. Maka berhondoh-hondoh lah orang keluar dari kampung. Menuntut ilmu ataupun mencari penghidupan ekonomi. Bahkan ada yang menggunakan peribahasa “Dimana bumi dipijak disana langit dijunjung” sebagai “merantau cina” alias sekali pergi tak pernah kembali.
Rumah-Rumah yang Ditinggalkankan untuk Ditengok ke Belakang
Tempat kita tumbuh, rumah kita tinggal dan keluarga yang membesarkan mempengaruhi cara pandang kita terhadap dunia. Perasaan jadi bagian dari suatu tempat dipengaruhi oleh interaksi awal dengan ketiga hal tadi.Tentu saja sebagian besar rumah-rumah yang ditinggalkan itu menyimpan hati pemiliknya di dalam. Tak seorang pun yang tak rindu pada kampung halaman. Namun persoalan kehidupan sosial tak sekedar perasaan rindu. Terdapat satu atau dua alasan tak memungkin mereka kembali. Kalau pun sesekali pulang tak melihat urgensi untuk menghidupkan tempat kelahiran ini. Karena pusat kehidupan sekarang berputar di rantau.
Kuburan Kenangan dalam Rumah-Rumah yang ditinggalkan
Ada desir kesedihan tiap kali memandangi rumah-rumah yang ditinggalkan itu. Terutama rumah-ruma yang saya foto ini. Mereka milik keluarga teman-teman masa kecil saya. Di rumah ini kami pernah menghabiskan waktu, bermain, tertawa, bertengkar lalu baikan lagi.Walau tak sebanyak pemiliknya, pengalaman manis kanak-kanak saya yang terkubur di lokasi itu berfungsi sebagai daya tarik untuk mengabadikannya dalam kenangan.
Tapi apa boleh buat. Hidup mesti diteruskan. Semua realita harus dihadapi. Cuma ada yang lebih mengenaskan menurut saya. Memperhatikan saat blusukan di pasar-pasar kampung, pedagang dan pembelinya sebagian besar berusia baya.Banyak diantara mereka tinggal sendiri. Dikampung saya saja sangat mudah menemui orang tua kesepian ini dari berbagai tingkat ekonomi. Mereka yang anaknya berhasil di rantau relatif lebih beruntung. Kalau mau bisa menyewa orang dari luar kampung atau meminta anak-cucu atau kerabat lain untuk tinggal bersama. Yang menghibakan adalah mereka yang oleh berbagai sebab terlupakan oleh anak-anak maupun kerabat. Terpaksa mengandalkan hidup dari satu pintu ke pintu tetangga berikutnya karena sawah dan ladang pun tak punya.
Tapi ada yang membanggakan dari rumah-rumah tua ini. Suatu penghormatan terhadap masa lalu, kearifan lokal yang patut dipertahankan sampai kapan pun oleh generasi muda Minangkabau.
Dalam adat istidat Minangkabau tidak diperkenan memperjual belikan sawah, tanah maupun bangunan diatasnya bila properti tersebut masuk ke dalam harta pusaka tinggi. Harta pusaka tinggi diwarisi dari nenek moyang secara adat dan bukan hasil pencaharian dari ibu-bapak atau kita sendiri. Dengan aturan adat ini tidak akan ada pemindahan kepemilikan kepada orang asing atau orang diluar lingkaran adat. Hak waris atas tanah tetap berada dalam lingkaran adat. Selain mengurangi ketegangan sosial akibat akulturasi budaya, dengan berada dalam aturan adat, harta-harta ini tetap bisa digunakan untuk kepentingan bersama.
Bagaimana dengan kampung mu temans?
Salam,