Hujan Bulan Februari – Sesorean tadi lingkungan tempat tinggal saya diguyur hujan. Lebat, agak berkabut. Sepanjang mata memandang tak terlihat tanda-tanda kehidupan. Baik dari rumah para tetangga mau pun yang berlalu lintas. Seperti saya, orang-orang pasti lebih suka berteduh, tinggal di tempat beratap. Kalau perlu membuat puisi. Membiarkan langit bulan Februari menunaikan kewajiban. Melepas beban, membasuh dan menyuburkan bumi.
Saya menarik diri dari tugas dan memutuskan duduk di beranda. Bahkan tidak ditemani secangkir kopi, hanya ingin bertemu kesendirian, melepaskan angan bersama rintik yang mengalir dari atas.
Kalau lah tak memikirkan badan tua yang akan demam habis hujan-hujanan, pasti sudah melangkah ke luar. Mandi hujan Februari. Menengadahkan wajah ke atas, merentangkan tangan sambil berputar-putar seperti adegan di film-film klasik.
Tapi tidak lah! Tetangga dan karywan pasti akan melihat dan meragukan kewarasan saya.
Hujan Bulan Februari, 10 Persen Air 90 Persen Kenangan
Baca jug : Air Terjun Saluopa Poso Seperti Rok Penari Flamenco
Hujan kapan pun datangnya, tak hanya Bulan Februari, selalu mendatangkan rindu. Menarik berbagai kenangan yang pernah dilalui bersamanya.
Mungkin ada hubungan antara hujan dan depresi, atmosfirnya yang dingin membuat orang lebih suka menarik diri. Jadi diantara kenangan yang bangkit diantara yang manis juga terselip rasa sendu. Yang manis itu ketika ingat saat jalan-jalan bersama keluarga, menerobos cucuran air yang deras dalam obrolan yang akrab, menumpahkan rasa tanpa perlu takut dinilai.Â
Yang pahit itu ketika ingat rumah masa kecil di gang padat yang selalu terendam tiap hujan datang. Airnya keruh sekeruh wajah bunda. Dan menatap kekuatiran di wajah beliau tak pernah menyenangkan.
Baca juga : Hujan dan Perasaanku
Mengemas Hujan Dalam Puisi
Baca juga : Burung Pipit di Bawah Hujan
Kalian pasti ingat Sapardi Djoko Damono, sastrawan terkenal kita, dengan puisi Hujan Bulan Juni. Bunyinya seperti ini:
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Baca juga : HUJAN
Hujan itu memang istimewa. Tak hanya jadi kebutuhan kita sebagai makhluk hidup, hujan bisa membuat seseorang jadi pujangga. Keindahan kucuran airnya, aroma yang ia bawa, kesegaran udara, membuat kimia otak mengeluarkan zat tertentu. Bersama hujan kita melihat banyak keindahan. Dan bisa disimpan dalam puisi. Seperti yang dilakukan Sapardi Djoko Damono di atas.
Saya pikir mengemas hujan dalam puisi mestinya patut dicoba. Moodnya tepat yaitu sendu. Pasti bisa membuat serangkai cerita dalam liris dan irama.
Maka saya ambil sehelai kertas dan mulai mencari kata-kata yang tepat dalam pikiran. Menemukan. Coret. Menemukan coret. Tidak ada ceritanya. Kalau pun ada tidak bersesinambungan. Ah Sayang sekali. Tampaknya otak kanan jarang di latih.
Sampai hujan berakhir puisi itu tak kunjung lahir. Tenggelam saja dalam kabut emosi abu-abu, merahasiakan banyak kisah yang mestinya saya akrabi. Ya sudah lah tak semua orang harus jadi penyair kan yah..