Aroma kayu terbakar selalu menarik saya ke masa lalu. Pada sebuah dapur berlantai tanah, berdinding papan dengan tiga tungku berjejer di tepi. Tiap tungku terbuat dari tiga batu kali hitam, bersusun membentuk lingkaran untuk mendudukan peralatan masak diatasnya. Berjarak satu meter dari atas tungku terdapat para-para (pagu dalam bahasa Minang). Semacam rak untuk menyimpan kayu bakar. Tapi pagu sering juga digunakan untuk mengeringkan bawang, ikan atau belut dengan manfaatkan asap dan udara panas dari tungku. Di tepi para, di dekat tiang tergantung kantong anyam berisi segala jenis bumbu dapur.
Aroma kayu terbakar lalu membuka kenangan saya pada sosok wanita tua yang tiap pagi dan sore duduk di depan tungku itu. Rekam jejak antara aroma kayu terbakar dan bayangnya seperti gula dan sirup dalam memori syaraf saya. Melilit dan saling melengkapi.
Perempuan itu nenek yang saya panggil Biai mengikuti sebutan anak-anaknya. Tiap usai shalat subuh Biai pasti turun ke dapur. Di awali bunyi “nyesss”..yaitu gesekan kepala korek api ke bagian yang ada belerangnya. Tak lama aroma asap bercampur minyak tanah akan naik ke atas. Udara dingin menyusupkan aroma itu lewat lubang-lubang kecil di dinding ke kamar dimana saya tidur. Aroma kayu terbakar itu menimbulkan perasaan hangat, kenyang dan terayomi. Membuat saya ogah menyibak selimut.
Kampung di Beranda Bukit Barisan
Kampung kami tak jauh dari kaki Bukit Barisan. Kalau dari atas mungkin tampak seperti ceruk sebuah mangkuk. Di masa kanak-kanak saya, pukul dua belas malam halimun sudah turun menutup permukaan mangkuk. Dan bertambah pekat menjelang subuh. Udara sangat dingin. Nah saat memasak di pagi buta itu Biai sering mendekatkan kedua tangannya ke dekat tungku. Matanya menatap ke api sambil melamun.
Kalau nasi sudah masak Biai mengeluarkan bara kayu yang menyala dari tungku. Membeberkan rata agar bisa ditumpangi ikan asin ke atasnya. Ikan-ikan yang jadi korban biasanya disebut sepat, maco balah atau maco kukai. Ada lagi ikan yang kalau di panggang semua sisiknya akan bangun. Kecuali sepat sampai sekarang saya tak tahu padanan nama ikan itu dalam bahasa Indonesia. Yang jelas bau mereka membuat naga-naga di perut saya menggila. Sementara di tungku satu lagi nenek merebus pucuk daun singkong yang kemarin sore di petik dari kebun di belakang rumah.
Tree Marigold (foto minjem dari Mbak Dani. Klik Foto sumber asli)Di belakang rumah terdapat kolam ikan. Setelahnya ada ladang yang langsung berbatasan dengan hutan kecil yang juga berfungsi sebagai makam kaum. Dari tempat itu lah nenek mengumpulkan kayu bakar. Dari ranting-ranting pohon besar yang rontok ke tanah. Atau dengan menebang kayu-kayu kecil yang menyemak. Diantaranya terdapat batang bunga liar yang kami sebut bunga busuk. Belakangan dari blog Mbak Dani jadi tahu bahwa tanaman itu bernama Tree Marigold (Tithonia diversiflora). Batang keringnya berserat dengan lubang tengah berisi gabus. Jadi mudah sekali terbakar. Kalorinya tidak seberapa panas dan cepat habis di lalap api. Batanya juga tak menyisakan bara, langsung lumer jadi abu. Sementara Aroma kayu terbakar dari batang bunga matahari liar itu khas sekali dan banyak asap.
Aroma kayu terbakar tak hanya soal nenek. Tapi juga pada berbagai kisah pada masa kanak-kanak saya. Seperti pernah membakar ikan di tepi sungai bersama teman-teman. Ikannya gosong plus jari-jari saya yang tak sengaja memegang bara. Sekitar seminggu setelah itu tangan melepuh yang sakitnya berdenyut-denyut.
Teman punya aroma kenangan apa dari masa lalu?
@eviindrawanto
“Tulisan ini diikutsertakan pada Giveaway Cerita di Balik Aroma yang diadakan oleh Kakaakin”