Geliat budaya Kota Surakarta – Menyibak diri untuk Ibu Pertiwi
Kota Surakarta atau terkenal juga sebagai Kota Solo terbentang di pertemuan 5 sungai besar. Sungai Batangan, Sungai Nglawiya (Laweyan), Sungai Wingko, Sungai Pepe dan Sungai Braja. Kesemuanya bermuara ke Sungai Bengawan. Sungai terpanjang di Pulau Jawa ini memang sudah ratusan tahun berfungsi sebagai media transportasi baik untuk kepentingan ekonomi maupun militer. Menghubungkan barbagai tempat di Jawa Tengah dan berbagai tempat di Jawa Timur. Jadi bukan kebetulan Sultan Pakubuwana II memilih lokasi ini untuk memindahkan istananya yang hancur di Kartasura setelah perang Geger Pacinan (sejarah perang ini bisa di baca di Wiki).
Sebuah negeri akan makmur jika didukung oleh sumber daya alam memadai. Syukur-syukur kalau berlimpah. Tapi seperti halnya filosofi hidup bahwa kita tak selalu mendapat apa yang dimau, negeri yang tak punya sumber alam tak harus bergelimang kemiskinan. Karena penduduk bisa mengalihakan perhatian ke sumber daya lain seperti mengembangkan budaya melalui kreativitas yang terencana.
Kota Solo juga tak memiliki sumber daya alam ini. Maka Pemkot memacu pertumbuhan ekonomi mereka lewat perdagangan. Dengan mencetak sektar 43 pasar tradisional, merevitalisasi pasar lama serta memberdayakan sektor Usaha Kecil Menengah.
Hal itu saya ketahui saat mendengar pemaparan Pak Rudyatmo, Walikota Solo, saat menghadiri Welcome Diner di Loji Gandrung pada ASEAN Blogger Festival (ABFI) 2013 Mei lalu.
Menikmati Aroma Kuno dalam Kota Budaya
Tapi Solo bukan sekedar kota perdagangan. Geliat budaya kota Surakarta yang otentik akan terasa saat kita mulai menjajak kaki di bekas pecahan Kerajaan Mataram ini. Pusat kota berhias lampu-lampu antik. Gedung-gedung bertulis aksara Jawa. Saat lampu kota merubah kelam jadi gemerlap aroma kuno yang menebar dari abad ke-17 terasa melingkar di udara!
Solo lebih berkesan kalau dinikmati dari atas beca. Maka minta tukang becak mengantar menelusuri tempat-tempat yang punya nilai sejarah. Keraton Kasunanan Sukarta ataupun Pura Mangkunegaran dua destinasi yang tak boleh dilewatkan. Masuk lah ke Museum Radyapustaka dan sempatkan beribadah atau hanya sekedar lewat di depan Masjid Raya. Yang terbiasa hidup dalam kepekatan ketergesa-gesaan ibu Kota, Solo dengan arsitektur kunonya serasa menjejak kaki di masa lalu. Pada selera para bangsawan Jawa Kuno berserta selutuh keturunannya.
Tidak Masuk Loji Gandrung
Welcome diner untuk peserta ABFI 2013 diadakan di pendopo belakang Loji Gandrung, rumah dinas Wali Kota.Salah satu saksi biksu atas peristiwa penaklukan Jepang terhadap Belanda. Menghias sejarah awal bangsa Indonesia saat digunakan Jenderal Gatot Subroto berunding dengan tentara Nica.
Awalnya senang banget bakal melihat Loji Gandrung dari dalam. Pasti banyak yang bisa di potret (hahaha..). Eh rupanya panitia mengentahui seluruh isi otak blogger. Saat menuju tempat perjamuan di pendopo belakang, peserta dipersila kan lewat halaman samping. Ya kecewa deh! Padahal ingin sekali menyaksikan betapa lapang ruangan yang dulu pernah digunakan Belanda dan Bangsawan Jawa untuk berdansa-dansi. Pengen lihat kamar-kamar berloteng tinggi. Atau membayangkan Agustinus Dezentje, pengusaha kaya Belanda yang bersama istri bangsawan Jawanya hidup di bawah loteng berhias lampu gantung kristal selama beberapa tahun.
Tapi saya jarang berlama memelihara kekecewaan. Melihat seluruh blogger ASEAN sudah berkumpul kagatelan otak saya langsung saja sirna. Lebih tertarik menikmati Tarian Golek Sukoreno dengan koreo lembut tapi tangguh dari para putri Solo. Gadis-gadis yang bergerak gemulai namun tegas itu saya simbolisasi sebagai geliat budaya Kota Surakarta dalam menyambut para tamu yang hendak berkunjung ke rumah. Ramah, luwes namun ada aturan yang harus dihormati.
@eviindrawanto