Kerak telor bulan Juni bukan puisi tapi kegembiraan kecil yang dinikmati para penjualnya. Hadir di Jakarta tiap Juni yang panas bukan karena keistimewaan rasa sehingga tak tergantikan oleh makanan lain. Mereka masuk dalam agenda karena makanan berbahan baku beras ketan putih ini dianggap pantas sebagai penunjang peringatan hari jadi Ibu Kota. Lebih tepat lagi diusung sebagai penanda penghargaan kepada masyarakat Betawi, suku etnis pesisir dan pedalaman Sunda Kelapa yang sekarang perlahan-lahan bergeser ke tepi.
Maka dimanapun seremonial ulang tahun Jakarta berlangsung kerak telor hadir sebagai penggembira. Di Pekan Raya Jakarta tukang kerak telor memainkan kipas di setiap sudut.Menurut berita tahun ini ada 240 orang yang terbagi dalam tiga shift. Tiap orang dapat jatah 10 hari. Pun pada pamerah Flona (Flora-Fauna) 2013 yang saya kunjungi hari ini, puluhan pikulan dan kompor kerak telor terlihat di arena . Lapangan Banteng tiba-tiba beraroma gurih.
Yang membuat heran tadi adalah mengapa hanya kerak telor di arena Flona 2013? Makanan khas Betawi kan bukan hanya beras ketan yang diaduk pakai telur ayam atau bebek itu saja, bukan? Saya yang datang sejak pagi, menjelang pukul satu mulai pusing karena kurang makan. Mungkin gula darah turun atau kekurangan cairan karena panas garang. Yang jelas saat itu saya merindukan space untuk Gabus Pucung, Asinan Betawi, Soto Betawi, kue rangi atau bir pletok. Lah kok tidak ada? Apa panitia lupa membukan kamus makanan Betawi? Banyak lho jenisnya.
Tapi walau kimia tubuh sudah bergolak tetap menolak penawaran kerak telor dari suami.
Loh kok tidak suka? Tampak sedap begitu, kok!
Saya memang tidak nge-fan dengan kuliner Betawi satu ini. Bukan tidak enak sebetulnya, hanya sistem syaraf di lidah saya kurang baik dalam merespon telur bercampur beras terus diatasnya diberi serundeng dan bawang goreng. Sepertinya terdapat ketidak harmonisan karena terdeteksi pula rasa hangus bercampur gula dan cabe rawit.
Orang lapar jadi pemarah? Betul.Orang lapar jadi rakus? Betul lagi. Setidaknya begitu kata sang suami. Terserah lah. Yang jelas akhirnya saya sukses mengganyang dua kerak telor bulan Juni yang dia sodorkan ditengah kepala yang semakin berdenyut. Waktu ditawarkan yang ke-3 baru bisa tertawa dan menimpali guyonannya dengan mengucapkan, ” Nope! Enough is enough. Thank you!”.
Suka kerak telor, temans?