Motor Mimicry – Saya yang menyukai ilusi
Seperti saya ceritakan kemarin, Drama Korea Love Rain berhasil membuat saya menangis beberapa kali. Menyaksikan kisah cinta Seo Joon dan Ha Na yang mengharu biru itu, entah bagaimana, saya merasa terlibat di dalamnya. Senang kalau mereka bahagia dan menangis kalau sebaliknya.
Tapi Love Rain bukan satu-satunya film yang pernah saya tangisi. Boleh di bilang tiap kisah perjalanan anak manusia yang dramatisir air mata pasti mengundang saya ikut menangis. Ledekan, “nonton gak bayar saja pake nangis…” takan pernah menghentikan kebiasaan ini. Pokoknya adegan sedih langsung nonjok hati, mewek, dan terisak yang terkadang bikin malu.
Mencari tahu
Di dunia ini banyak hal penting untuk ditangisi. Jadi menangis untuk hal sepele terasa sedikit mengganggu. Kalau sendirian masih mending. Terkadang situasi itu melibatkan orang lain. Bikin repot. Saya tak nyaman karenanya. Maka untuk memahami kelakuan seperti ini dan mencoba menghapus maka saya mengembara ke berbagai artikel tentang perilaku manusia.
Yang paling logis tentu berawal pada Daniel Goleman melalui bukunya Emotional Intelligence. Disinilah untuk pertama kali saya berjumpa istilah Motor Mimicry atau Mimikri motor. Ini semacam istilah teknis untuk kata empati. Digunakan pertama kali oleh E.B. Titchener tahun1920-an, seorang ahli psikologi Amerika. Tapi makna ini sedikit beda bila yang dimaksud kata Yunani adalah empathetia, “ ikut merasakan”.
Kemudian istilah mimicry motor banyak diadopsi para teoretikus estetika untuk menamai kemampuan manusia dalam memahami pengalaman subjektif orang lain. Menurut Titchener, empati adalah semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain, yang kemudian menimbulkan perasaan serupa dalam diri seseorang. Empati berbeda dengan simpati. Yang terakhir dapat merasakan kemalangan orang lain secara lumrah tanpa ikut merasakan apa pun yang dirasakan orang tersebut.
Yang membuat saya prihatin pada diri sendiri adalah pernyataan Goleman berikut: “ Motor Mimicry atau Mimikri motor ini seharusnya lenyap dari repertoar kanak-kanak pada usia sekitar dua setengah tahun. Saat itu mereka sudah menyadari bahwa kepedihan orang lain berbeda dengan kepedihan mereka sendiri. Disamping itu mereka sudah lebih pintar mencari penghiburan agar tak terperangkap di dalamnya“.
Eksplorasi Lanjutan
Is it so? “Maksud mu apa Doktor Coleman?! Emosi saya yang suka nangis nonton film sedih ini lebih dodol dari bayi 2.5 tahun?”
Entahlah! Tapi yang berikut bisa memberi sedikit penjelasan. Dengan mata terbelalak saya membaca karya Robert Pirsig dalam Lila: An Inquiry Into Morals.
Teater adalah bentuk hipnotis. Demikian juga film dan TV. Ketika masuk ke gedung bioskop, Anda tahu bahwa semua yang akan Anda lihat adalah 24 bayangan per detik yang ditayangkan pada sebuah layar untuk memberikan ilusi gerakan orang dan objek. Anda tertawa ketika 24 bayangan itu menceritakan kisah lucu, menangis ketika menggambarkan kisah sedih atau kematian para aktor. Anda sadar itu semua hanyalah ilusi. Namun Anda memasuki ilusi itu dan menjadi bagian dari cerita. Dan selagi ilusi itu terjadi, Anda pasti tidak sadar bahwa itu sebuah ilusi. Ini adalah hipnotis dan keadaan tak sadarkan diri.
Jadi kemarin itu Jang Geun Suk dan Yoona telah sukses menghipnotis saya? Well…
Motor Mimicry bukan satu-satunya yang memberi penjelasan
Tadi saya mengatakan bahwa saya berpetualang ke dalam beberapa artikel, bukan? Well, saya tidak bercanda. Bahan-bahan yang saya temukan memang menarik dan saya senang mengetahui siapa saya sesungguhnya. Tulisan tentang Avertising and the Mind of the Consumer-nya Max Sutherland berhasil membuat saya lebih paham lagi.
Beberapa tahun silam Morton Heilig (penemu Sensorama), setelah melihat Cinerama dan 3D, mengatakan, “Ketika menonton TV atau film di gedung bioskop, Anda sedang berada dalam satu realita, sekaligus sedang menonton realita lain melalui tembok transparan imajiner. Namun, ketika Anda membuka lebar-lebar jendela itu, secara kejiwaan Anda akan menyadari keterlibatan diri Anda. Oleh karena itu, Anda tidak hanya melihat, tapi juga merasakan pengalaman itu”.
Begitu kah? Jadi kebisaan saya ikut mewek atau tertawa nonton film bisa dijelaskan oleh logika seperti motor mimicry itu. Berarti masih boleh terus menangis dong?
Jadi, selain saya siapa yang suka ilusi? 🙂
Salam,
— Evi