Kenangan Ramadhan – Surau Ruhama Ambacang Magek dan Nenek
Tiap kali pulang kampung, di Simpang Banto, sebelum belok kanan ke Pinang Balirik menuju rumah kami, mata selalu tertumbuk pada kubah Surau Ruhama Ambacang – Magek. Terbingkai sawah nan hijau, pohon pisang, kelapa yang dipagari Bukit Barisan di belakangnya. Warna silver dari seng yang membungkus kubah itu terkadang berkilau memantulkan cahaya matahari.Malah kalau sedang beruntung di sore hari terlihat sekelompok burung pipit terbang melingkarinya.
Bangunan surau lama sudah tak ada. Berganti surau baru bertingkat dua. Namun panorama dari kubah Surau Ruhama Ambacang itu selalu jadi jendela saya kembali ke masa lalu. Kepada kenangan Ramadhan, peristiwa-peristiwa dan orang-orang yang pernah jadi bagian dari masa kanak-kanak saya. Ada nenek, ibu dari ibu saya yang saya panggil Biai. Ada Inyiak Kalo guru mengaji yang pelototan matanya membuat saya menggigil sampai ke jantung. Ada teman-teman sebaya berbagi gelak dan air sebagai anak kampung.
Mukena Nenek dan Bunga Rampai
Ramadhan bulan istimewa. Maka untuk shalat tarawih di Surau Ruhama nenek meninggalkan mukena hariannya di rumah. Mukena harian kurang layak di bawa tarawih karena bagian muka sudah banyak bintik hitam akibat lembab dan perjalanan waktu. Sebagai ganti nenek mengeluarkan mukena simpanan dari lemari. Mukena putih bersih itu plus sehelai sarung di gulung dalam sajadah bersama bunga rampai, yaitu campuran dari berbagai bunga berbau harum dan ditambah irisan daun pandan.
Kalau lah ada aroma yang paling kuat melekat dalam memory saya salah satunya pasti bunga rampai. Maklum saya tak berbakat jadi anak relijius. Tarawih 23 rakaat dengan bacaan ayat panjang-panjang hanya membuat pikiran saya melayang melintas gunung, sawah dan orang-orang. Lama-lama mereka membosankan, membuat saya jadi mengantuk. Kalau sudah begitu saya berhenti, menyusup ke shaf nenek lalu merebahkan diri di sampingnya.
Nah diantara kantuk, bayang-bayang barisan perempuan dengan mukena putih, saya memasuki zona abu-abu dengan aroma bunga rampai melayang di udara. Wewangian itu semakin kencang kala terkibas mukena nenek saat dia rukuk maupun sujut.Itu lah kenangan Ramadhan paling indah sedunia. Kalau pun ada gunung meletus saat itu saya takan tergugah karenanya.
Kenangan Ramadhan bersama Kacang Goreng
Kenangan Ramadhan juga berarti kacang goreng. Entah kapan mulainya bahwa di kampung kami tiap bulan puasa juga di tandai oleh kacang goreng, kacang tanah yang disangrai bersama cangkangnya. Makanan itu di jajakan berkeliling antar kampung bersamaan dengan waktu ngababurit. Tapi kacang goreng juga mudah ditemukan di surau. Yang jualan anak lelaki yang usianya kurang lebih sebaya dengan saya, sebelum tarawih di mulai.
Dunia anak-anak di mata kanak-kanak tak selalu indah. Terutama kalau sudah menyangkut hubungan lelaki-perempuan. Bahwa “kataan” siapa pacaran dengan siapa jadi jokes jelek tak berkesudahan.
Dalam kelas mengaji bersama Nyiak Aki Kalo tersebut lah seorang anak lelaki yang dipanggil Iim. Berkulit putih, berambut lurus, berhidung mancung dengan tubuh tinggi cungkring. Teman-teman selau mengatai saya pacaran dengan dia. Walau tidak mengerti konsep pacaran tapi “kataan” itu cukup merusak yang berujung pada berakhirnya pertemanan kami. Sebelumnya biasa saja bagi saya beli kacang goreng kepada Iim. Namun pada suatu malam menjelang tarawih sorakan bahwa kami pacaran meninggalkan jejak malu yang dalam. Sekarang pun kalau lewat di depan rumahnya masih tersisa perasaan tak enak. Padahal rumah itu tak berpenghuni, sudah rusak sementara orangnya pun tak diketahui berada di mana 🙂
Waktu kecil, pernah dikatain pacaran gak teman? Dengan siapa? 🙂
@eviindrawanto