Ketika kita menjadi semakin terlepas dari alam, kita mulai menyadari betapa kita bergantung padanya. Alam adalah rumah utama kita, akar kita, dan obat kita. Pepatah Minang mengatakan bahwa alam terkembang bisa dijadikan guru. Jadi mengapa kita tak belajar dari seekor lalat bahwa ketika hidup sedang terancam kita perlu mengatur pikiran agar tetap waras, jangan tenggelam dalam kepanikan.
Lalat dan Ikan Asin Goreng
Ikan asin goreng itu makanan favorit di rumah kami. Cuma ada yang menyebalkan saat mengolahnya. Misalnya lupa menutup jendela dapur saat menggoreng. Tahu sendiri bagaimana aroma ikan asin kalau digoreng. Tak sekedar mengganggu penciuman tetangga tapi juga mengundang kawanan lalat hijau untuk mampir.
Mampir saja sudah mengganggu tapi mereka tak puas. Sambil terbang kesana- kemari kepak sayapnya berdengung, seolah mengajak perang. Yang fatal ada yang berani hinggap di atas masakan yang baru matang.
Untuk mengusir mereka biasanya saya akan membuat keributan. Dengan berhush..hush.. atau mengibaskan sapu lidi agar mereka minggat keluar. Biasanya persoalan cepat selesai. Jendela ditutup kembali dan dengan penuh kemenangan saya meneruskan masak.
Apa yang bisa saya pelajari dari lalat hijau ini? Baca sampai ke bawah ya.
Lalat Hijau yang Nakal
Tapi suatu hari keadaan berbeda. Seekor lalat hijau kembali singgah di dapur. Kali ini lalat tunawicara, tunanetra,sekaligus tunarungu. Dalia, sang staf rumah tangga bertindak dengan membuka jendela dan mengibas menggunakan sapu untuk mengusirnya. Tapi lalat itu tetap saja terbang kian kemari. Menabrak tembok dan kaca jendela. Tampaknya panik diburu-buru seperti itu sehingga tak kunjung menemukan jalan ke luar.
Masalahnya sebelumnya saya tidak berpikir seperti itu. Saya menganggap si lalat sedang unjuk kekuatan. Dan pun belajar dari lalat itu.
Belajar tentang semangat pantang menyerah. Dengan naluri saya jawab tantangannya: “ Ente jual, ane beli…!” Saya ambil sapu dari tangan Dalia. Dengan kekuatan penuh memainkan juru angin duduk pembalik sukma. “ Plak!” sekali ayun serangga itu terhempas ke bumi.
Wah dahsyat! Pikir saya sambil memandangi geletar kaki hewan tersebut saat meregang nyawa.
Baca juga : Sifat Negatif dan Kesuksesan, Bisa Berjalan Seiring
Belajar dari Lalat, Jangan Terlalu Mudah Dikuasai Emosi Negatif
Pembunuhan itu dipicu rasa tertekan, emosi negatif yang rasanya enggak banget. Gara-gara salah memasukan faktur tagihan ke dalam amplop. Yang seharusnya untuk pelanggan A tapi saya masukan ke amplop untuk pelanggan B. Untung berhasil menghentikan kurirnya lewat panggilan telepon.
Kalau tidak coba bayangkan betapa malunya. “Emang berapa banyak sih pelangganmu sampai salah amplop seperti itu?” Gerutu saya berulang-ulang.
Berhubung si kurir harus jalan ke tempat lain, dan mengingat kebijakan perusahaan A hanya tukar fakturnya tiap Jumat, artinya proses tukar faktur berikutnya harus menunggu seminggu lagi. Artinya lagi, gara-gara lupa menempatkan tagihan ke dalam agenda mental saya hari itu,saya telah sukses memperlambat cashflow perusahaan.
Semakin diingat semakin jengkel pada diri sendiri. Apa lagi setelah beberapa detik saya lihat Dalia tidak jua berhasil menyingkirkan si lalat. Merasa makanan yang sudah dihinggapi kaki si lalat sudah tercemar. Maka terjadi lah pelampiasan yang sadis itu.
Puaskah saya? Enggak! Legakah saya? Enggak! Menyesalkah saya? Hm…
Tapi saya belajar dari lalat itu. Nasib saya akan seperti itu jika terus membiarkan emosi negatif menguasai. Seperti ketakutan, kepanikan dan kemalasan. Itu semua menghalangi pandangan saya terhadap kejernihan dari luar.
Pernah musuhan dengan lalat, temans?