Mengenal Konsep Kemiskinan : Absolut dan Relatif
Teman-teman minta ijin menulis agak serius (dikit) : Mengenal Konsep Kemiskinan. Loh untuk apa harus tahu segala, bukan kah di lingkungan masyarakat Indonesia sangat mudah menemukannya? Yah untuk bersenang-senang saja. Agar saya lebih paham diri sendiri. Insya Allah mereka yang paham diri sendiri akan memahami orang lain. Disamping ada yang nyari juga di blog ini 🙂
Mengenal Konsep Kemiskinan Absolut
Tiap kali paska kenaikan bahan bakar minyak(BBM) angka kemiskinan dipastikan bergerak naik. Misalnya jika standar kesejahteraan bisa makan tiga kali sehari, kenaikan harga kebutuhan pokok akan menurunkan standar tersebut ke level tertentu. Misalnya menguranginya jadi dua kali. Atau terjadi perubahan pada menu.Kalau biasanya bisa makan berlauk lauk ikan asin plus sayur kangkung, kenaikan BBMÂ dapat menghapus ikan asin dari daftar menu.
Kebijakan pemerintah seperti mengurangi subsidi dengan menaikan harga BBM akan selalu berdampak pada kehidupan sosial. Kebijakan tersebut akan membuat perubahan mendasar, kalau tidak ke atas akan ke bawah. Bergerak keatas tidak mengapa. Tapi bergerak ke bawah? Akan panjang ceritanya. Karena tidak seorangpun diantara kita menginginkan jadi lebih miskin dari kehidupan sekarang. Sebab miskin memang tidak enak. Apa lagi sifat alamiah manusia yang senantiasa menghindari rasa sakit pasti membenci konsep ini.
Jadi Konsep Kemiskinan absolut itu adalah
Menurut ekonom kemiskinan absolut itu bertumpu pada tingkat/batas kondisi ekonomi tertentu. Biasanya berpatokan pada angka. Misalnya penghasilan minimal 1 juta/ bulan. Jadi mereka yang berpenghasilan di bawah satu juga dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup minimal seperti pangan, sandang dan papan. Mereka disebut hidup di bawah garis kemiskinan.
Kemiskinan Relatif
Tapi yang lebih menarik untuk diamati adalah konsep kemiskinan relatif karena paling banyak penderitanya. Dia tidak mewakili konsep kemiskinan absolut yang didasarkan pada penilaian kondisi ekonomi namun berdasar ukuran relatif terhadap suatu gaya hidup yang dibentuk oleh sebagian masyarakat.
Yang bermain disini bukan angka-angka namun aspek “perasaan”. Coba siapa yang tidak merasa miskin bila hanya mampu naik sedan butut sementara teman-teman seliweren dengan Ford Ranger, Fortuner bahkan Lexus? Atau siapa yang tidak ‘ngenes’ bila setiap akhir liburan panjang, teman-teman dengan ceria membawa berita dari Australia, Amerika dan Eropa atau belahan dunia lainnya sementara kita untuk jalan-jalan ke Joja saja perlu menggerakkan langit dan bumi?
Singkatnya kemiskinan relatif serasa mematikan. Menghinggapi mereka tak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi sesuai standar gaya hidup yang dipraktekkan sekelompok orang. Penderitanya siapa saja dan mana saja, lintas gender dan usia. Dalam masyarakat dengan kesenjangan sosial ekonomi lebar seperti Indonesia kemiskinan relatif tumbuh subur.
Namun “perasaan miskin” adalah satu soal. Bila perbedaan tingkat sosial ekonomi dianggap sebagai manifestasi dari ketidakadilan, itu soal yang lain. Mudah merasa antipati atau frustrasi melihat gaya hidup sekelompok kecil orang yang disebut kaya. Karena sejatinya kita juga mendambakan berada ditempat mereka namun terhalang oleh ketidak mampuan. Ego jadi terluka.
Bisakah Kemiskinan Relatif Punah?
Pemerintah berkewajiban mempersempit jurang kesenjangan antara si kaya dengan si miskin. Menciptakan lapangan kerja, membuka akses pendidikan terjangkau merupakan dua cara mempersempit jurang tersebut. Pertanyaan sekarang jika betul jurang bisa menyempit, akan kah perasaan miskin relatif musnah dengan sendirinya?
Saya yakin tidak! Perasaan kurang dari orang lain akan terus bersarang dalam sanubari manusia. Ada yang mengakuinya dan ada pula yang tidak. Namun satu hal yang pasti, saat kita bergerak mencapai kelas sosial tertentu, mereka yang sudah berada disana berusaha mempertahankan status quo sambil juga terus menaikan status mereka sendiri. Jadi kapan berakhirnya, coba?
@eviindrawanto