Menggapai Rasa Syukur – Sebuah Perjalanan Panjang
Orang bijak mengatakan bahwa kebahagiaan berawal dari rasa syukur. Berterima kasih pada apa yang ada, tidak mengeluh sekalipun hidup jauh dari harapan. Dan berkaca pada kehidupan orang bijak itu, berarti kita bicara tentang proses yang panjang. Kita tidak serta merta dapat menghargai tiap momen dalam hidup, positif atau negatif, kecuali pernah mengerahkan energi untuk berlatih di dalamnya.
Manusia punya banyak sekali sudut pandang. Tak terkecuali dalam menggapai rasa syukur ini. Nah orang bijak yang lain mengatakan bahwa menggapai rasa syukur bukan karena agama atau kepercayaan yang menyuruh. Kita bersyukur bukan karena tuntutan dari Sang Diatas. Kita bersyukur atas rasa syukur itu sendiri, bangkit dari dalam tanpa disuruh-suruh.
Apa pun lah! yang jelas saya menyadari bahwa belajar menggapai rasa syukur tidak mudah. Sekalipun terus berusaha tak serta merta membuat saya jadi manusia penuh rasa syukur. Banyak gangguan yang membuat rasa itu itu menguap. Kelemahan diri penyebabnya. Misalnya mudah terpicu emosi atau rasa marah.
Perjalanan Panjang Menggapai Rasa Syukur
Suatu ketika ada pelanggan yang belet banget bayar tagihan. Salah satu diantaranya dengan luwes mengatakan bahwa hari itu bukan Jumat, hari pembayaran di perusahaan mereka. Mendengar itu saya lantas saja tercekik menelan gumpalan amarah. Sampai tenggorokan terasa kering. Dalam hati berteriak, “Emang sudah berapa Jumat yang kalian lewati?“.
Mestinya cukup sampai disana. Saya berhenti pada kekecewaan. Namun gerutuan dalam hati lantas entah kenapa jadi merembet kemana-mana. “Coba dulu tak berhenti kerja, jadi gak perlu kebagian tugas menjadi debt collector begini. Coba suami kaya jadi gak perlu berpayah-payah mengelola usaha kecil ini sendirian..
What if..What if..Coba kalau..Coba kalau…Terus menerus melayang dalam kepala untuk membakar hati dan memberangus jiwa.
Untungnya pernah membaca bahwa sebelum menumpahkan kemarahan kepada siapa pun wajib hukumnya berhitung sampai sepuluh. Jadi saya berhitung dalam hati sampai sepuluh. Kesempatan itu rupanya memunculkan akal sehat. Memunculkan sejumlah fakta bahwa mereka adalah pelanggan pertama perusahaan kami. Walau sering mbelet bayar hutang, sampai sekarang mereka tetap setia membeli dari kami. Lagi pula pembayaran mereka tak selalu telat kok.
Jadi setelah sukses memasukan beberapa cc oksigen ke dada, logika mulai bekerja. Lagi pula apa gunanya menyalurkan energi negatif terhadap mereka? Toh kalaupun saya bisa ngomel dengan gagah berani, paling-paling mereka cuma manggut sambil kesal. Mereka kan anak buah, tidak punya otoritas untuk mengambil keputusan membayar atau tidak membayar, bukan?
Hanya saja saya masih di bawah kendali emosi primitif. Kemarahan itu memporak porandakan mood seharian. Apa jadi saja kelihatan salah. Masakan terasa asin. Dering bunyi telepon terlalu kencang. Dan itu lho..Kok ya nasib saya malang nian? Sudah rela jadi ibu rumah tangga, membantu suami, melupakan banyak impian kok ya tak seorang pun terlihat menghargai?
Mengingat kelakuan itu sekarang saya bisa tertawa. Namun saat kejadian berlangsung saya bergulat di dalamnya seolah hanya itu satu-satunya dunia yang tersedia. Saya tak punya pilihan.
Akhir kata..
Usaha menggapai rasa syukur itu perlu perjuangan keras. Untuk melindungi diri, disamping emosi positif Tuhan juga membekali kita emosi negatif. Cuma terkadang kita memberi porsi lebih besar kepada yang negatif. Itu mudah sekali menghancurkan fondasi syukur yang kita bangun. Jadi perlu usaha terus menerus untuk melogiskan emosi negatif menjadi positif tanpa kehilangan makna awal mengapa perasaan negatif itu muncul. Begitu sampai di titik imbang saat itu kita tak hanya bersyukur tapi juga bijaksana. Setidaknya begitu pendapat saya 🙂
Menurutmu setelah kita punya rasa syukur apakah tidak boleh marah, temans?
Salam