Rendang Jengkol Padang – Kalio Jengkol, Kuliner Minang yang banyak dicari dan dihindari.
Jengkol itu seperti istri simpanan. Didambakan tapi harus dihindari. Hahaha..analogi keterlaluan ya? Habis cuma itu yang terpikir oleh saya ketika seseorang “ingin” sesuatu tapi sekaligus menghindari. Kadang-kadang merendahkan martabatnya di muka kawan-kawan.
Tapi saya tak sekadar “ngocol”. Ini berdasarkan pengalaman pribadi. Seorang kerabat yang suka sekali menikmati olahan Jering masakan ibunya tapi mati-matian pula menghindarinya. Menurut cerita sang ibu, mungkin karena anak ini pernah menderita “Kejengkolan”.
Dari berita CNN mengatakan bawah Kejengkolan adalah penyakit yang muncul karena terlalu banyak makan jengkol. Penyakit ini disebut juga sebagai jengkolism. Biang kerok kejengkolan karena kandungan asam jengkolat yang ada pada biji jengkol. Asam jengkolat ini merupakan asam amino yang mengandung sulfur. Sulfur ini merupakan penyebab bau kuat pada jengkol.
Selain menyebabkan bau, terlalu banyak mengonsumsi kandungan asam jengkolat dapat membuat tubuh mengalami keracunan. Kandungan ini bakal membentuk kristal di ginjal sehingga menyebabkan seseorang tidak bisa pipis.
Jadi kalau suka sekalipun, makan rendang jengkol padang memang tak boleh terlalu banyak.
Jengkol Paling Sering Diolok-olok
Begitu lah! Ini lah makanan yang paling sering diolok-olok. Bahasa gaul ABG 80-an, prokem (preman), menjulukinya “jengki” atau “kancing lepis”. Untuk berbagai alasan ada kepuasan tersendiri orang me-rating rendah makanan ini. Entah karena bau atau jengkol berkonotasi makanan rakyat kecil atau “orang susah”.
Terlepas dari itu penggemar jengkol pasti setuju bahwa buah polong-polongan ini bisa dimasak apa saja. Disemur atau di goreng balado sama enaknya.
Namun yang paling menggiurkan bagi saya adalah rendang jengkol padang. Tambah kental santannya tambah menitik air liur. Tambah coklat warnanya bertambah harum aromanya.
Terbayang nasi panas dan rebusan pucuk ubi (daun singkong) menemani santap bersamanya. Tambah sempurna kalau membayangkan rendang jengkol ini dinikmati sambil gelaran tikar di tengah sawah. Saya yakin tak bakalan ingat kesehatan apa lagi hasil metabolism tubuh nanti bakal “mencemari lingkungan”.
Baca juga :
- Lebaran dan Daging Sapi
- Rendang Tongkol Yang Lezat
Rendang atau Kalio Jengkol?
Ohya sebagai anak orang Minang, saya seharusnya tahu bahwa orang sering salah menyebut kalio jengkol sebagai rendang jengkol. Kok ya saya ikutan menyebut rendang untuk kalio?
Jadi foto gula jengkol berkuah kurang tepat disebut rendang jengkol, ya teman-teman. Buah Archidendron pauciflorum berkuah santan seperti itu disebut orang Minang Kalio Jariang (kalio jengkol). Belum sampai ke tahap rendang.
Baca juga cerita tentang kuliner Minang di sini —-> Eksotisme Pakan Sinayan
Oh ya kalio adalah rendang setengah jadi. Bahan tak dimasak sampai kering dan seperti rendang umumnya. Namun rumah makan dimana jariang itu ditemukan menyebutnya sebagai rendang jengkol padang. Ya sudah saya ikuti saja apa maunya.
Rendang Jengkol Padang di Rumah Makan
Semua yang berada di kolong langit akan berubah. Masakan jengkol pun ikut berubah. Sekalipun olokan terhadapnya belum punah namun nasib jengkol sekarang jauh lebih baik. Kalau dulu tak tersedia di resto, seiring perkembangan kreativitas dan diversifika produk, beberapa rumah makan padang meninggalkan stigma masa lalu yang tak jelas itu.
Di sebuah Rumah Makan Minang di Serpong, senang melihat rendang jengkol terpajang bersama menu lainnya. Tentu saja langkah uni si pemiliknya menggembirakan pecinta kuliner Minang ini.
Baca juga :
Namun akhir-akhir ini kegembiraan saya berkurang terhadap rendang jengkol padang. Mulai snobbish, mulai malu mengaku penggemar jengkol. Mungkin karena sering dipelototin suami yang selalu datang dengan isu purin dan asam urat.
Ditambah lagi mobilitas dan pekerjaan tidak memungkinkan menyantap rendang jengkol sembarangan. Malu kalau harus meninggalkan jejak di toilet umum.
Rendang jengkol padang, anyone?
@eviindrawanto