Pada sebuah siang di Cisarua Bogor, saya mengendap mendekati gerombolan tanaman merambat dengan bunga putih kecil yang sedang mekar. Penampakan mereka mirip bunga Chammomile, kelopak bunga bersusun teratur dengan putik sari kekuningan di tengahnya.
Menghisap nektar menjalani fitrah
Sebenarnya tanpa kehadiran saya pun kawasan itu sudah ramai oleh berbagai makluk hidup. Kupu-kupu saja 3 warna: Hitam, kuning dan putih yang terbang ceria kian kemari. Sayangnya mereka terlalu peka pada kehadiran saya sehingga sulit difoto. Terus ada lebah dan semut-semut yang asyik membenamkan kepala mereka menghisap nectar dari kolam putik sari. Tak seperti kupu-kupu, serangga ini terlalu asyik menikmati makanan jadi tak hirau pada kehadiran saya.
Dan teman-teman pasti tahu bahwa mengamati alam sekitar dengan bantuan lensa pembesar itu punya sensasi sendiri. Struktur yang tak begitu jelas lewat mata telanjang menjadi lebih rumit dan detail yang membangkitkan berbagai keindahan dari jiwa kita. Saat-saat seperti itu berbagai ide atau pertanyaan akan muncul dari pikiran. Seperti mengapa kupu-kupu, lebah dan serangga lainnya itu tahu bahwa area sekitar bunga mirip chammomile itu adalah sumber makanan? Apa yang memberi tahu mereka untuk datang dan panen nectar yang tersedia di sana?
Pertanyaan tersebut muncul dikarenakan area tersebut rimbun pepohonan namun serangga hanya berkumpul di area bunga yang sedang mekar.
Terus anak saya mengatakan tak usah terlalu dipusingkan pertanyaan tersebut. Sebab seluruh alam semesta telah ditetapkan fitrahnya oleh Sang Pencipta. Kupu-kupu, lebah, dan semut dibekali insting mendeteksi rasa manis. Perangkat serupa juga dimiliki makhluk hidup lain yang akan menuntun mereka pada tiap sumber makanan sesuai fitrah yang telah ditetapkan Sang Perencana tadi.
Dan sayapun manggut-manggut sambil berpikir mengapa Tuhan tidak memfitrahkan udang yang enak itu bagi badan saya? Gara-gara sering alergi kalau memakannya saya terpaksa menjalani fitrah penghindaran terhadapnya.
@eviindrawanto