Teman-teman adakah yang seperti saya bahwa Kalau masuk ke suatu restoran sering kali tak tahu harus memesan apa? Karena itu saya perlu bertanya pada pelayan menu apa yang jadi specialty di resto tersebut. Tapi lihat-lihat kondisi juga sih. Kalau mereka sangat sibuk atau saya sedang malas ngomong biasanya cuma mengandalkan daftar harga dan visualisasi dari menu yang ada. Saya akan memilih makanan yang harganya “masuk akal” (menurut saya) yang disertai gambar atau foto yang menarik. Pesan makanan karena gambar itu asumsinya adalah foto menarik berbanding lurus dengan rasa. Maksudnya kalau secara visual makanan itu menarik saya asumsikan rasanya juga pasti enak.
Tumis asam manis ikan balita yang saya sangka enak tapi ternyata tidak
Namun menilai rasa makanan dari penampilan gambar terkadang seperti menakar kucing dalam karung. Banyak kelirunya ketimbang benarnya. Terutama bila kawan memesannya di food court. Pernah mengalami bahwa makanan yang tersaji tak seperti gambar yang dipajang? Pernah juga mengalami bahwa rasa dari makanan tersebut lari jauh meninggalkan imaji cantik dari gambarnya? Kalau pernah mengalaminya, well, welcome aboard, kita satu perahu.
Iga bakar yang awalnya saya pikir tak enak
Pantulan Kehidupan
Dan tindakan menilai rasa makanan lewat penampakan visualnya bisa ditemukan padanannya dalam kehidupan. Bahwa kita berkecenderungan menilai sesuatu berdasarkan sesuatu yang ada dalam pikiran, bukan berdasar fakta yang sesungguhnya. Hanya karena foto tumis asam-manis ikan balita tampak begitu menggoda saya terpicu memesan karena prasangka itu enak. Padahal tidak. Sebaliknya saya tak memesan sop iga bakar yang dari fotonya sudah membuat saya berpransangka buruk, pasti tak enak.
Apa sih sebabnya kita berlaku seperti itu?
Yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah persepsi. Yaitu suatu cara pandang yang terbentuk oleh rangsangan dari luar berkat pancara indra dan kemudian dikukuhkan pengalaman.
Kalau teman-teman melihat foto makanan dari majalah atau website tertentu, selain tatanan gambar apik, artikel yang mengiringi juga mengatakan bahwa makanan yang dibahas tersebut enak. Kita tak satu atau dua kali mengalaminya namun berkali-kali. Berbagai pengalaman itu yang membentuk persepsi kita bahwa makanan yang bagus di dalam foto rasanya juga pasti enak.
Persepsi penting bagi pertumbuhan pribadi dan rohani kita. Tanpa persepsi kita takan mampu memahami, memaknai, mengorganisasi, mengidentifikasi atau mengintreprestasikan segala sesutu yang terjadi dilingkungan kehidupan kita. Tanpa persepsi kita tak ubahnya seperti robot, hidup namun tak memiliki rasa.
Entah kebetulan atau tidak bahwa kehidupan bukan lah hitam-putih atau semudah pesan makanan karena gambar. Selalu ada “tapi” dalam tiap kebenaran. Memang betul persepsi itu penting tapi harus selalu berhati-hati menggunakannya. Bagaimanapun segala kejadian yang kita lihat dan rasa itu telah disaring terlebih dahulu oleh pengalaman. Persepsi kita sekarang terbentuk dari peristiwa masa lalu. Dan peristiwa masa lalu itu tak selalu cocok digunakan menyaring berbagai peristiwa masa kini.
Gimana teman, masih mau pesan makanan karena gambar?
@eviindrawanto